Lihat ke Halaman Asli

Filosofi Cappuccino

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

http://warnaaksara.blogspot.com/
Suatu sore di lantai dua sebuah Kafe di Tembalang. Seperti biasa aku memesan secangkir cappuccino panas. Belakangan aku memang lebih suka cappuccino daripada kopi-kopi lainnya. Pahit enak, manis juga enak.


Tak lama kemudian, cappuccino pesananku datang berserta kotak berisi gula, biskuit, dan sebuah sendok serta sebuah filosofi hidup.
Hidup itu seperti Cappuccino. Kita butuh gula sebagai pemanis, butuh biskuit sebagai pelengkap, dan kita butuh sendok supaya semua komponen cappucinno bersatu padu dan bisa dinikmati.
Biskuit bisa diibaratkan sebagai cinta. Dan gula bisa diibaratkan sebagai sahabat. Sedangkan sendok diibaratkan sebagai sikap kita.
Biskuit bisa saja habis sebelum cappuccino yang kamu minum habis, dan bisa juga habis bersama dengan tetes terakhir cappuccinomu. Begitu juga cinta, kamu bisa bertahan dengan satu biskuit untuk menghabiskan cappuccinomu, tapi kamu bisa saja menghabiskan banyak biskuit untuk satu cangkir cappuccino.
Lain halnya dengan gula, dia bisa membuat cappucinno jadi manis. Dan dia larut, jadi dia tidak mungkin meninggalkan cappucinno sendirian setelah dia memberi rasa manis.
Tapi gula tidak akan bisa membuat cappuccino manis kalau tidak ada sendok. Gula ada didekat cappucinno tapi tidak bisa tercampur. Begitu pula dengan persahabatan, kalau sikap kita benar, sahabat pasti bersedia ada buat kita, kita harus menjaga sikap supaya sahabat kita tidak pernah ragu untuk menemani kita, sampai cappucino kita habis.
Waktu itu aku hanya diberi sebuah biskuit, tapi sayangnya biskuit itu habis jauh sebelum cappucinnoku habis.
Oleh: F. Yumna




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline