Lihat ke Halaman Asli

Sudah Merdekakah Kita?

Diperbarui: 5 Oktober 2016   15:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Merdeka ... Merdeka 

Saya teringat masa kecil dulu sering berteriak teriak, merdeka, merdeka, disepanjang jalan jalan kampung saya, tigabinanga kabupaten karo. Kami di hipnotis oleh suasana berkeliling kampung dengan beragam pakaian dan beragam peran. Ada yang diberi peran sebagai tentara gerilya. Namanya tentara gerilya, tentu saja pasukannya berkeliling kampung dengan membawa meriam meriam yang terbuat dari bambu besar, ada yang membawa obor, ada yang membawa minyak lampu dan tentu saja ada tugasnya layaknya chearleaders yang senantiasa berteriak merdeka, merdeka dan merdeka tiada henti, dan kami dengan gagahnya teriak teriak dan tak pernah peduli bahwa untuk membuat kami mirip gerilyawan jaman perang dulu, membutuhkan biaya dan mungkin bapak dan mamak kami menangis sepanjang malam, karena harus merobek robek satu diantara dua celana yang kami miliki. 

Hmmm sebelum tulisan ini gagal fokus, hari ini di usiaku yang sudah 35 tahun, berusaha melihat kamus besar bahasa indonesia versi digital dengan bantuan bolang kebanggaan kita, bolang google. KBBI mendefenisikan merdeka adalah 1).bebas dari perhambaan dan penjajahan, 2).tidak terkena atau lepas dari tuntutan dan tidak terikat, 3).tidak bergantung pada orang lain atau pihak tertentu, leluasa, bebas berbuat dengan sekehendak hati. Melihat tiga defenisi merdeka itu, adakah salah satu unsur yang kami peroleh dimasa anak anak? Kami pada masa anak anak itu, merdeka, merdeka sekali bahkan. Kami bebas teriak teriak di hari itu, meledakkan meriam sesuka hati, dan kalaupun ada yang terkaget kaget bahkan mati karena penyakit jantungnya kambuh mendengar dentuman meriam bambu kami, kami tidak akan dituntut seperti jessica karena warga kampung sepakat hari itu adalah hari kemerdekaan. 

Puluhan tahun sudah, hari ini, aku merenung apakah ada dari tiga hal itu yang ku nikmati? Mari kita tanya kepada hati sanubari masing masing apakah kita sudah merdeka tidakpun merdeka hakiki, minimal merdeka menurut versi diri sendiri. Ohhh iya, lalu yang menjadi pertanyaan adalah sudah merdeka kah kita? Wow ayo sapa yang merasa dirinya sudah merdeka, tunjuk tangan sendiri dan bercermin di toilet rumah masing masing. 

Tentu merdeka menurut pengusaha pengusaha kaya, yang selama ini berbisnis di Indonesia, tapi membawa kekayaannya ke negeri seuprit singapura untuk hindari pajak di Indonesia, maka hari ini adalah hari merdeka, karena negara yang besar ini, pemaaf dengan meluncurkan program Tax Amnesty. Gimana ngga merdeka bro, program tax amnesty memberikan pengampunan terhadap seluruh tagihan perpajakan tahun sebelumnya, menjamin tidak adanya penerapan pidana dan yang lebih membuat sangat merdeka, mengampuni segala kesalahan yang dilakukan untuk memperoleh harta yang disembunyikan itu, entah itu hasil kejahatan atau tidak, semua diampuni. Asli benar benar merdeka. 

Lalu bagi kaum marginal apakah mereka rasakan kemerdekaan juga? Sebagian ada yang merasakan kemerdekaan dadakan, karena ada yang mendapat rumah susun gratis, ada yang dapat bantuan kesehatan gratis, ada bantuan operasional sekolah, bahkan ada yang dapat beasiswa dari pemkab diluar dana BOS, seperti yang diterapkan perwira dari pinggiran danau toba yang menjadi bupati kabupaten simalungun, DR JR Saragih, SH, MM. Bahkan kalo pas lagi rezeki, warga yang sakit dari kabupaten simalungun akan didanai seluruh biaya perobatannya dan kerennya lagi, calon pasien diangkut naik helikopter. Merdeka bukan? Bagiku itu sudah merdeka

Namun yang menjadi pertanyaan kembali adalah apakah kemerdekaan itu dirasakan oleh semua masyarakat, dari semua golongan, baik rakyat kaya naik prado maupun rakyat ala kadarnya dan banyak sabarnya naik kereta lembu. 

Yang pertama, pemerintah sebagai pelayan rakyat harus mematuhi undang undang dengan kaca mata kuda dan tanpa interpretasi dan tafsir tafsir apalagi diskresi. 

Yang kedua, aparatur pemerintah menengah bawah sebagai ujung tombak pelayanan rakyat miskin, harus lebih takut dan manut kepada undang undang dan peraturan yang ada dibandingkan telepon, sms atau perintah lisan atasan. 

Yang ketiga, aparatur pemerintah harus menjamin hak hak setiap rakyatnya tanpa membelokkan atau malah menekan rakyat demi permintaan orang berdasi dan yang berparfum itu. 

Yang keempat, setiap orang yang sudah diangkat jadi aparatur pemerintah harus melepaskan statusnya sebagai anak beru, kalimbubu dan senina seperti adat karo. Dia harus siap selalu menjadi anak beru. Jangan ada saudara kandung dan saudara tiri dalam pelayanan masyarakat. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline