Lihat ke Halaman Asli

Sigmund Freud, JR Saragih, dan David Held

Diperbarui: 28 September 2016   13:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Masa masa reformasi adalah masa dimana semua orang mengusung kebebasannya dengan sangat vulgar, mulai dari kebebasan berserikat, kebebasan berpendapat sampai kepada kebebasannya untuk menyiarkan segala pandangan pribadinya. Pandangan pribadi yang di sebarkan ini tidak ada verifikasi dan semua bebas menyuarakan pendapatnya melalui media mainstream ato social media, semua bebas memilih caranya dan dengan gayanya sendiri. Apakah pendapat itu dinyatakan dengan jujur atau pendapat didasari dengan kebencian, hanya Tuhan dan pemberi pendapat yang tahu.

Pendapat ini seiring dengan theory David Held (1987) yang menyatakan bahwa Authonom Democracy adalah cara untuk membangun dan menemukan pemimpin yang baik melalui demokrasi yang sehat. Democratic Authonom menitikberatkan pada kesempatan dan kesetaraan yang sama untuk menentukan nasib kehidupannya. Theory ini jauh berbeda dengan teori dari sigmund freud (1921) yang menyatakan hypnotic theory yang menitik menitik beratkan peran pemimpin sebagai tokoh panggung. Dimana sang pemimpin dapat menghipnotis pengikutnya untuk mengikuti segala tindakannya.

Lalu bagaimana dengan konteks lokal, Jopinus Ramli Saragih sebagai bupati simalungun yang sekarang memimpin untuk periode keduanya. Kepimpinan beliau dengan sejumlah ide dan gagasannya kerap menimbulkan polemik. Polemik itu timbul karena kurang tersosialisasikannya tujuan kebijakan dengan baik atau malah karena adanya para pembenci yang selalu mencari cara dan alasan untuk mereduksi kebijakan jr saragih sebagai pemimpin tanpa mencari dalil bahwa kebijakan itu sebenarnya adalah baik.

Jika kita mendasarkan theory yang ada yang selalu berkembang dalam ilmu politik terlebih alam demokrasi sekarang ini, maka dominasi paham david held tanpa adanya filter yang menjadi acuan maka sering kali kritik yang dibangun bukanlah sebuah kritik tapi mengarah kepada pembunuhan karakter. Sikap yang menyatakan bahwa semua kebijakan jr saragih adalah salah hanya karena jr saragih adalah lawan politik bukanlah sikap negarawan tapi sikap partisan.

Dan tentu kita tak pernah berharap JR Saragih menjadi sosok yang diungkapkan oleh Sigmund Freud bahwa dia menjadi dalang panggung dan kita menjadi pengikutnya yang tercucuk hidungnya laksana lembu kan? Namun kita juga tak boleh naif dengan membiarkan politik kebencian menguasai ruang pemikiran kita.

Bersikaplah dengan batas batas normal perjalanan pemikiran dengan objektivitas kawan.

Salam simalungun mantab

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline