Lihat ke Halaman Asli

Parodi Dewan, Tangis Rakyat

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14126323131979149957


Beberapa waktu yang lalu, kita baru saja mendapat sedikit hiburan dari para anggota legistalif kita. Mereka seakan-akan berlomba menunjukan bakat melucu mereka didepan konstituen mereka lewat layar kaca. Mulai dari siding tenteng RUU Pilkada sampai penetapan ketua DPR. Mulai dari ketika salah satu fraksi sudah mendapat dukungan oleh beberapa fraksi lain, namun kemudian WO (walk out) dengan alasan tidak mendapat dukungan fraksi lain, kemudian seorang legislator yang tiba-tiba maju ke tempat Pimpinan siding kemudian mencium pimpinan siding, sampai pimpinan sidang yang  kehilangan palunya ketika terjadi sedikit klimaks di dalam Paripurna

Dalam sidang ini pun dipertontonkan kemampuan akting para anggota dewan yang terhormat ini. Kemampuan mereka tak kalah dibanding artis-artis papan atas hollywod seperti, Leonardo Di Caprio, Toby Meguire, dll. Mungkin kemampuan mereka lebih bagus dari actor-aktor tersebut, sampai-sampai produser mereka pun merasa marah ataas akting para artis mereka sendiri.

Dalam tulisan ini saya akan mebahas dua hal. Pertama saya akan membahas tentang sebuah sinetron Indonesia yang berkelas, kedua saya akan mebahas dan memeprtanyakan system fraksi dalam DPR.

Pertama, putusan dalam siding yang membahas RUU Pilkada sampai penetapan ketua DPR menjadi kekhawatiran tersendiri bagi publik. Pembahasan RUU Pilkada menghasilkan UU PIlkada yang mengharuskan para pemimipin daerah dipilih oleh DPRD menjadi kemunduran bagi Demokrasi Indonesia. aetelah kita tak ikut membahas anggaran daerah, membahas perda, sekarang memilih pemimpinya sendiri pun harus diwakilkan.

Para dewan pendukung opsi Pilkada lewat DPRD selalu bersembunyi dengan argument, Pilkada oleh DPRD sesuai dengan Pancasila sila ke-4, Kemanusiaan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan PERWAKILAN. Namun mereka lupa atau seolah-olah tidak tahu bahwa keputusan melakukan voting juga bertentangan dengan Pancasila sila ke-4 juga. Pemikiran dangkal hanya untuk sekedar mencari pembenaran.

Kemudian, salah satu partai kunci yang menurut ketua umumnya tidak setuju dengan PIlkada lewat DPRD, pada akhirnya memilih untuk WO dalam paripurna. Saya percaya, ketika saat ada sesuatu pilihan baik dan buruk dan kita memilih diam, maka kita telah ikut meloloskan sesuatu yang buruk terjadi. Begitupun dalam hal ini, Partai tersebut (sebut saja PEDE) memilih untuk meninggalkan siding ketika suara mereka sangat menentukan dalam pengambilan keputusan. setelah ini terjadi, kita masih disuguhi episode lain yang tak kalah menarik.

Presiden pun sampai turun tangan dalam masalah ini. Presiden ini juga mungkin adalah sutradara sekaligus produser dalam sinetron ini. Menhgingta Presiden (sebut saja SBY) adalah ketua umum partai yang menjadi tokoh utama dalam sinetron ini.  SBY saat paripurna terjadi sedang berada di Amerika Serikat, sehinng tak dapat langsung mendirect para artinya yang sedang berada di paripurna. Tugas mendirect pun akhirnya diberikan kepada beberapa pentinggi partai yang disitu terdapat salah satu putra mahkotanya sendiri.

Entah apa yang membuat sang sutradara gatal ingin ambil bagian dari sinetron ini. Mungkin karena para penoton masih kurang puas dengan akting para pemainya yang menurut saya sudang seperti akting para pemain The Godfahert. Sang sutrada pun akhirnya ikut ambil peran dalam sinetron ini. Seperti sinetron tersanjung yang sangat lama, episode ini mungkin akan terjadi sangat lama juga.

Kedua, di dalam sistem DPR kita terdapat system Fraksi dalam penentuan voting. Meskipun dihitung per anggota dewan, tapi biasanya dalam satu fraksi suaranya hamper sama semua. Kecuali ada seorang dengan jiwa besar dan pendobrak yang berani melawan nama ketua.

Di web DPR : http://www.dpr.go.id/id/tentang-dpr/fraksi , dijelaskan bahwa pembentukan fraksi adalah untuk optimalisasi dan keefektifan pelaksanaan tugas. Disi yang saya pertanyakan, Optimalisasi apa yang tercapai dengan pembentukan fraksi-fraksi di DPR ini?. Bukanya malah menyelewengkan menjadikan sura fraksi seakan-akan suara rakyat?. Ambil contoh, ketika kemarin pembahasan RUU Pilkada, dalam kenyataannya mayoritas masyarakat masih menghendaki Pilkada dengan cara langsung tanpa diwakilkan oleh DPRD. Namun ketika pengambilan voting di DPR semua anggota dewan akhirnya mengikuti suara fraksinya. Kita tahu fraksi di DPR ketika saat itu banyak yang menghendaki Pilkada oleh DPRD untuk bagi-bagi kekuasaan.

Disini dapat kita lihat pembentukan fraksi malah menjadikan suara-suara rakyat menjadi suara-suara partai. Anggota DPR yang berbeda pilihan dengan Fraksinya teracam tidak dicalonkan lagi dalam Pileg mendatang. Sehingga seberapa keras suara rakyat sulit akan dibahas di DPR karena para wakilnya di parlemen lebih tuduk dengan suara fraksinya tanpa mendengar suara di Dapilnya




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline