Lihat ke Halaman Asli

Jejak Penjelajah......(Bag. 1)

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kala aku duduk sendiri malam2 di depan kamar kost sambil minum segelas kopi dengan sebatang rokok di tangan, sinar bulan yang temaram menerpa wajahku yang masih segar karena rasa kantuk sedang menjauh dariku. Aku termenung, melamun membayangkan masa lalu yang tiba2 mengusik malamku. Teringat saat2 menyenangkan sekaligus menegangkan yang dulu kualami bersama beberapa teman kampungku yang sama2 mempunyai jiwa petualang. Waktu itu kalo ga salah di penghujung tahun 1997, saat aku masih kelas 2 di SMK Majapahit Semarang. Aku bersama tiga temanku Yanto, Nardi dan Junaedi berencana menjelajah hutan di hari minggu sambil berburu burung dan ayam alas. Hutan itu terletak di belakang TPA ( Tempat Pembuangan Akhir ) Jatibarang, Semarang bagian selatan. Malam minggu, seperti biasa kami berkumpul di rumah Yanto, sahabat terdekatku waktu itu. Saat aku datang, di situ sudah ada Yanto, Nardi juga Junaedi. Aku datang paling akhir karena waktu itu yang punya pacar cuma aku, jadinya aku kumpul setelah ngapelin pacarku untuk malam mingguan. Kebetulan pacarku dulu namanya Santi dia tetangganya Yanto, kalo rumahku lain RT sama mereka. Santi sekolah di SMKK kelas 1. Junaedi dah menikah dan punya 2 anak, Yanto dan Nardi masih jomblo aja. “Wuoiy… Dah pada kumpul nih. Lagi ngobrolin apa toh?” ujarku sambil duduk di bangku panjang yang terletak di teras rumah Yanto. “Biasalah.. Omong2 kosong seperti biasa hehe..” Junaedi menimpali. “Eh, Ndlup..(aku dipanggil Sendlup kalo di kampungku) kamu besok ada acara ngga sama Santi?” “Engga.. Emang kenapa Nar?” jawabku penasaran. “ Ini nih, kita besok rencana mau berburu ke hutan di Jatibarang, kamu mau ikut kan? Dah lama nih kita ngga pergi jalan rame2. Aku dah pernah ke sana dulu sama Pak Is jadi tau banget lah lokasinya. Gimana..?”. Pak Is adalah bapaknya Santi pacarku, seorang montir, pemabuk, juga suka berburu. Tapi orangnya santai dan baik walau kalo dah mabuk berat suka ngoceh ngga karuan juntrungannya. “ Iya nih Ndlup, kamu ikut ya. Kita berempat saperti yang dulu2 bertualang, tapi kita cuma bawa 2 senapan soalnya kan yang punya Pak Is lagi dibawa temennya.” Kata Yanto. “Oke siap, emang aku lagi butuh suasana yang seger2 nih, tadi ada masalah dikit ama Santi. Berangkat jam berapa besok?” “Jam 7 aja, biar ga terlalu siang nyampe sana” Junaedi ngasih usul. “Jadi sepakat ya kita kumpul di sini sebelum jam 7 dan jangan lupa bawa peluru yang banyak juga makanan oke..” Nardi menutup rencana yang dibahas malam itu. Setelah itu kami berempat ngobrol tentang hal2 apa saja sampai jam 12 malam baru kita bubar, pulang ke rumah masing2. Pagi harinya seperti yang sudah direncanakan semalam, kami berkumpul di rumah Yanto jam 7 dengan membawa keperluan yang sekiranya cukup untuk perjalanan kami nanti. “Kau ngga lupa bawa pelurunya kan Ndlup?” Nardi bertanya padaku sambil dia memeriksa 2 senapan yang tergeletak di bangku panjang Yanto. 2 senapan itu milik Nardi dan Yanto. “Engga lah, ini masih ada 4 bungkus sisa kemarin dulu waktu  kita berburu luwak.” “Terus kita butuh perlengkapan apalagi?” aku balik tanya ke mereka bertiga. “Ga perlu bawa macem2, orang kita cuma sampai jam 3 aja soalnya ntar takut kemaleman malah ga bisa pulang” Junaedi menjelaskan. Dia sendiri cuma membawa sebilah pisau dan sebotol air mineral. Yanto kebagian jatah bawa makanan untuk bekal kami nanti. Aku dan Nardi masing2 memegang senapan karena di antara kami yang tembakannya paling jitu adalah Nardi, aku yang kedua..hehe. Akhirnya berangkatlah kami, berjalan beriringan ke jalan raya yang jaraknya cuma 100 meter dari rumah Yanto. Setelah nunggu 10 menit datanglah bis yang akan membawa kami ke tujuan. Karena bis sering berhenti tuk ngangkut penumpang, jadi kami agak lama sampai. Setelah 45 menit kemudian kami sampai di depan jalan masuk menuju TPA, aku membayar ongkos bis untuk empat orang terus kami turun dilanjutkan jalan lagi masuk wilayah TPA. Ternyata TPA di Jatibarang itu luas sekali, dari mulai kami masuk area sampah sampai ke ujung yang satunya butuh waktu 20 menit jalan kaki. Disamping baunya yang amit2 karena 2 hari kemaren ujan, jadi sampahnya masih basah dan baunya 10x lipat dari biasanya. “Kita musti nyebrang lewat tengah tumpukan sampah yang masih basah ini Nar?” tanyaku pada Nardi. “Iyalah, orang hutannya dibelakang gunungan sampah ini.” Nardi menjelaskan sambil jalan di urutan depan. Yanto ngikut di belakangnya, “Gapapa lah bau dikit, kan cuma bentar aja. Ntar kalo dah masuk hutan juga dah ilang baunya.” “Hooh Ndlup, tahan dulu napa.. Biasanya kan kau maenannya ama sampah hehe” kelakar Junaedi. Aku pun cuma tersenyum kecut, abis mo gimana lagi orang jalan masuk satu2nya cuma lewat tempat itu. Kami pun jalan dengan agak terburu agar segera terhindar dari bau yang menyengat. Setelah 20 menitan akhirnya sampai juga kami di sebuah sungai kecil yang memisahkan tempat sampah tersebut dengan hutan yang kita tuju. Kami nyebrang sungai yang dalamnya cuma sampai lutut dan lebarnya cuma 3 meter. “Wah ternyata di sini juga ada rumahnya yah” aku melihat di seberang sungai  itu berderet gubuk2 yang terlihat kumuh karena dibangun dengan bahan seadanya dan ukurannya yang tak seberapa besar. Gubuk2 tersebut merupakan tempat tinggal para pemulung yang mata pencahariannya mengumpulkan sampah, me-milah2 yang bisa dijual. Seharian bergumul dengan sampah buangan orang2 kota Semarang demi menyambung hidup. “Heem para pemulung itu tinggal di sini. Setiap hari berkalang sampah dan tidur pun dekat sampah, kasihan juga yah melihatnya.” Nardi sudah 3x ini ke tempat itu jadi dah tau kalo ada gubuk2 tersebut. Kami pun berjalan terus melewati deretan gubuk tersebut menuju hutan hijau di belakangnya, “Kita istirahat di sini dulu aja, soale perjalanan masih panjang” kata Nardi seraya duduk di batang pohon tumbang di depan mereka. Kami serentak berhenti dan mengikuti Nardi duduk, “makan bekalnya aja sekalian biar ntar ada tenaga buat jalan..haha” Junaedi langsung aja membuka tas Yanto yang isinya makanan. “Oke, kalian duluan aja. Aku mo pemanasan dulu nih, mumpung banyak burung emprit di pohon depan itu” kataku sembari memompa senapan dan mengisi peluru. Setelah aku bidik, langsung aku tembak kumpulan burung kecil yang puluhan jumlahnya. Tapi betapa kagetnya aku, satupun burung ga ada yang kena tembakanku padahal jarak aku membidik sampai tempat burung itu bertengger ga lebih dari 15 meter. Terus aku coba menembak sekali lagi, tapi seperti yang tadi, ga ada satupun yang kena. “wahahahahaha…. Masa burung segitu banyak ga ada yang kena Ndlup. Jangan2 sudah tumpul kau..” Nardi menertawaiku sambil mengunyah makanan yang memenuhi mulutnya. “Iya nih ga tau kenapa. Padahal jarang meleset aku kalo cuma jarak segini, apalagi dengan jumlah burung yang segitu banyak. Kau juga coba deh, siapa tau aku cuma lagi sial aja.” Nardi pun segera menghabiskan makanannya dan mengambil senapan yang dia senderkan di pohon sebelah tempat dia duduk. .......(bersambung)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline