Lihat ke Halaman Asli

Silmi Kaffah

UIN Jakarta

Retorika Dakwah: Mencapai Tujuan Melalui Komunikasi Efektif

Diperbarui: 27 Juni 2024   19:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Syamsul Yakin dan Silmi Kaffah (Dosen dan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)/dok. pri

Tujuan dakwah tercantum dalam ayat Al-Qur'an, seperti "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung" (QS. Ali Imran/3: 104).

Nabi juga mengajari teknik untuk mencapai tujuan dakwah, "Barangsiapa yang melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman" (HR. Muslim).

Dalam retorika, tujuan dakwah terkait dengan tujuan retorika, yakni informatif, persuasif, rekreatif, edukatif, dan advokatif. Dari sisi cara menyampaikan pesan, tujuan retorika minimal ada dua, yakni monologika dan dialogika. Monologika adalah gaya bicara monolog atau searah, seperti pidato, ceramah, dan khutbah, sedangkan dialogika adalah gaya bicara dialogis atau dua arah.

Dalam dakwah Nabi, banyak riwayat yang memuat dakwah dialogis ini. Pertama, dalam kitab Fathush Shamad mengutip satu hadits Nabi yang bersumber dari Ibnu Umar. Ibnu Umar bercerita, “Dalam satu perjalanan, kami bersama Rasulullah. Sekonyong-konyong seorang Arab pedalaman mendekat. Nabi meresponsnya dengan bertanya, “Wahai kisanak, kamu hendak kemana?” Orang itu menjawab, “Hendak pulang ke keluargaku”. “Apakah kisanak menginginkan kebaikan?”, seloroh Nabi. Orang itu menjawab, “Apakah itu?” Nabi menjelaskan, “Kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah semata. Tidak ada sekutu bagi-Nya. 

Dan (kamu bersaksi) bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”. Namun orang itu malah berkata, “Siapa saja yang akan bersaksi kepadamu untuk (membenarkan) ucapan tersebut?” Secara tangkas Nabi menjawab pertanyaan orang Arab pedalaman itu, “Pohon ini atau buah ini”. Pohon tersebut berada di tepi jurang. Karena bumi mendekatkannya, seketika pohon tersebut ada di hadapan Nabi untuk menghadap beliau. Setelah itu, Nabi bersyahadat tiga kali. Pohon itupun bersyahadat seperti halnya Nabi. Kemudian pohon itu meninggalkan Nabi untuk kembali ke tempat asalnya.

Dalam kitab al-Mawaidz al-Ushfuriyah, Syaikh Muhammad bin Abi Bakar menuliskan keislaman Abu Bakar yang diawali dari mimpi. Dia bermimpi melihat matahari dan bulan di dalam kamarnya dan mengikatnya dengan tangannya. Dia kemudian pergi untuk bertanya kepada seorang pendeta Nasrani yang masih beriman dengan agama tauhid tentang mimpinya.

Seorang pendeta memberitahu Abu Bakar bahwa mimpinya tentang nabi merupakan pertanda bahwa dia akan menjadi pengikut nabi terakhir, Muhammad SAW. Pendeta tersebut menjelaskan bahwa tanpa Nabi Muhammad, tidak akan ada langit dan bumi, Nabi Adam, dan para nabi lainnya. Dia juga mengungkapkan bahwa dia telah memeluk agama Islam secara diam-diam dan menunjukkan ciri-ciri Nabi Muhammad yang tertulis dalam kitab Taurat, Injil, dan Zabur.

Penjelasan sang pendeta membuat Abu Bakar luluh hatinya dan dia merasa rindu untuk bertemu dengan Nabi Muhammad di Mekah. Setibanya di Mekah, Abu Bakar langsung mencari dan berhasil bertemu dengan Nabi Muhammad. Sejak saat itu, Abu Bakar menjadi pengikut setia Nabi Muhammad dan tidak pernah ingin berpisah darinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline