Lihat ke Halaman Asli

silis

mahasiswa

Hyperrality Anak Muda dalam Merepsentasikan Dirinya yang Terpersuasi Sosial Media

Diperbarui: 27 Desember 2022   21:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jean Baudrillard merupakan seorang ahli teori prancis yang mengemukakan konsep Hyperrality yang secara sederhana didefinisikan sebagai sesuatu yang menggantikan realitas dengan representasinya. Konsep yang dikemukakan oleh Baudrillard dikenal sangat radikal, yang beranggapan dunia saat ini merupakan simulacrum, dimana sulit membedakan antara yang nyata dan tidak nyata. Hal ini diperparah oleh perkembangan teknologi dengan ledakan informasi yang harus dikonsumsi masyarakat setiap hari, namun dengan literasi yang sangat minim.

Dewasa ini, anak muda mengalami hyperrality dalam proses pencarian jati diri, yang selalu tersandung krisis identitas dalam memberikan sebuah tampilah diri ke public, sehingga perilaku yang ditunjukkan cenderung terkesan semu, lebih-lebih apa yang diperlihatkan dalam media sosial. Sebagai pengguna sosial media yang aktif serta reaksi terhadap dampak hadirnya pandemi covid-19 telah memberikan penampilan baru terhadap anak muda, sehingga membuat kabur kelas sosial yang ada. Hal ini terjadi karena lihainya media sosial dalam mempengaruhi anak muda. 

Media sosial menjadi ajang mempersuasif anak muda untuk mengikuti unggahan yang sedang trending, karena media sosial memiliki peranan sangat besar dalam mempengaruhi orang lain. Kita tidak bisa mengasumsikan lagi seseorang berasal dari kelas sosial yang mana melihat dari gaya hidup apa yang ditunjukkan di media sosial. Karena hal tersebut balik lagi ke fenomena hyperrality, dimana yang real telah mati, dan digantikan oleh simulasi seperti yang diungkapkan oleh Baudrillard. Tidak ada konfirmasi yang valid atas yang apa mereka unggah.

Kedua, dari apa yang ada di media sosial mempengaruhi orang untuk membuat identitas semu dimana tampilan personal yang diperlihatkan mengaburkan jati diri mereka sebenarnya. Dalam mengupload sesuatu mereka berusaha untuk terlihat semaksimal mungkin, tanpa ada minus sedikitpun, ini terjadi karena mengikuti apa yang sedang hype saat itu, sehingga timbullah konsep FOMO, dimana selalu ikut-ikutan apa yang lagi hype, tidak mau ketinggalan dari yang lainnya. Untuk itu anak muda tebujuk, sehingga mereka berupaya menyembunyikan identitas yang sebenarnya.

Terkadang orang bertanya "biar dikata apa sih lu kek gitu?, yang sebenarnya bukan identitas lu sendiri". Jawabannya ya itu tadi, media sosial merupakan ranah terbaik untuk menciptakan hiperrealitas. Media sosial mampu membuat representasi gaya hidup seseorang menjadi kabur lewat komunikasi persuasif yang ditampilkan secara apik. Kembali lagi ke kajian komunikasi bahwa apa yang kita lakukan itu merupakan sebuah pesan, atau dengan kata lain tindakan merupakan pesan yang akan mengkonstruksi pemikiran masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline