Lihat ke Halaman Asli

Teori Fungsionalistik, Belajar dari Pengalaman untuk Tidak Membenci Kegagalan

Diperbarui: 30 September 2022   20:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam psikologi perkembangan dikenal teori fungsionalistik. Teori fungsionalistik merupakan sebuah teori belajar yang menekankan pada stimulasi dan refleks. Tokoh dari teori fungsionalistik adalah Thorndike dan Skiner. 

Dalam teori ini hasil dari belajar lebih ditekankan kepada perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon.  Dimana biasanya tingkah laku manusia dipengaruhi oleh hal-hal yang biasa dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi pola kebiasaan dan terbawa terus terhadap perilakunya di dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut teori yang dipelopori oleh Thorndike dan Skiner ini, barang siapa yang menguasai stimulus dan respon sebanyak-banyaknya maka dia dikategorikan sebagai orang yang pandai dan berhasil didalam belajarnya. Selain itu perlu diingat bahwasannya pembentukan antara stimulus dan respon tentunya harus dilakukan secara bertahap dan berulang-ulang. 

Berbicara mengenai stimulus dan respon, stimulus adalah apa saja yang dapat merangsang terjadinya belajar, baik itu pikiran atau perasaan serta hal-hal lain yang berhubungan dengan indra manusia. Sedangkan respon sendiri yaitu reaksi dari stimulus yang diberikan, dapat berupa pikiran atau perasaan dan juga gerak atau tindakan.

Dilain sisi, hubungan antara stimulu dan respon ini juga dapat terjadi melalui interaksi yang terjadi di dalam lingkungan. Bahwasannya terkadang karena berada di dalam suatu lingkungan maka kita secara tidak langsung terbawa untuk mengamati lingkungan tersebut dan kemudian secara alami diri kita menyesuaikan tingkah laku kita dengan lingkungan tersebut. Maka dari situ dapat terlihat bahwa lingkungan mempengaruhi perubahan tingkah laku seseorang.

Sedangkan secara psikologis, seluruh perilaku manusia, kepribadian dan temperamen ditentukan oleh pengalaman inderawi atau sensory experience. Dimana pikiran dan perasaan adalah hasil dari perilaku dimasa lalu. Sehingga asumsi bahwasannya pengalaman adalah yang paling berpengaruh terhadap pembentukan perilaku.

Semakin sering suatu tingkah laku dilatih maka asosiasinya semakin kuat. Seperti halnya dengan hukum dari hubungan antara stimulus dan respon itu sendiri cenderung diperkuat bila hal tersebut menyenangkan dan cenderung melemah bila hal tersebut tidak memuaskan. 

Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwasannya perilaku dari manusia didorong oleh kebutuhan untuk memperbanyak kesenangan dan mengurangi penderitaan, karena pada dasarnya manusia menyukai hal-hal yang membuat kalbunya bahagia.

Fungsi pikiran sendiri adalah untuk menjiplak struktur dari pengetahuan yang sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis serta dipilah, sehingga hasil dari proses berpikir ditentukan oleh bagaimana karakteristik struktur pengetahuan yang diberikan atau didapatkan. 

Sedangkan ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan dalam belajar dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas untuk diberikan hadiah. 

Akibat dari kedua hal tersebut adalah timbulnya dogma yang mengakar bahwasannya jikalau nilai atau hasil dari belajar atau evaluasinya jelek, maka masa depannya pun dianggap suram atau gagal, dan harus dihukum. Padahal kita tidak ada yang tau bagaimana masa depan. Bisa saja karena belajar dari pengalaman pada akhirnya bisa mencapai kejayaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline