Kali ini saya akan bercerita tentang seorang kawan, yang darinya saya telah belajar banyak *meski belum semuanya saya terapkan di hidup saya.
Saya mengenalnya sejak SD, dia kawan main saya. Ayah kawan saya itu seorang perantau, yang hampir setiap waktu rumahnya menjadi jujugan saudara2nya yang bersekolah di jogja. Itulah yang membuat saya suka main ke rumahnya. Sepupu-sepupunya itu selalu menjadi tempat kami bertanya saat mengerjakan PR. Suasana anak kuliahan itu yang katanya membuatnya terbiasa punya jam belajar.
Saat kuliah, saya bertemu secara tidak sengaja bertemu dengannya. Waktu itu kami sama2 diundang untuk menandatangani kontrak beasiswa. Beberapa waktu kemudian, saya main ke pengajian di jurusannya. Saat itu secara tidak sengaja baru saya tau. Ternyata dia menyisihkan seperenam beasiswanya untuk takmir musholla fakultasnya; seorang bapak2 tua. Saya rasanya malu sekali padanya. Memang uang beasiswa saya habiskan tidak untuk berfoya-foya; semua untuk keperluan kuliah, tapi tak pernah kepikiran untuk menyisihkan sebagai zakat.
Di awal-awal bekerja, saya bertemu lagi dengannya di salah satu bank di Surakarta. Ternyata dia juga diterima bekerja di kota yang sama. Ketika saya tanya ada urusan apa, dijawabnya habis ngirim uang buat adiknya. Sekali lagi saya tertampar. Gajinya belum juga penuh diterimakan, tapi dia sudah membaginya dengan orang lain. Tidak berhenti di situ saja, ketika saya main ke rumahnya, saya bertemu dengan saudara-saudaranya yang tinggal di rumahnya; sedang bersekolah di Surakarta. Ternyata kebiasaan menampung orang sekolah seperti orang tuanya diteruskan oleh kawan saya setelah dia berumah tangga.
Beberapa minggu yang lalu, saya bertemu lagi dengannya di lobby stasiun balapan. Sedang mengantar keluarga sepupunya yang wisuda balik ke kotanya. Sembari menemani aku ngantri tiket ke jogja, aku sempat ngobrol dengannya. Kaget juga waktu tau dia tidak masuk auditorium saat wisuda sepupunya. Padahal dia yang membiayai kuliah sepupunya itu. Saat aku tanya, dia hanya tersenyum kecil. “Undangan e ming siji je, Sil. Nggo mak e wae (undangannya hanya satu tu Sil. Biar untuk ibunya saja)”. Aku juga bertanya tentang kabar sepupunya yang lain yang juga dia biayai. Ternyata dia sudah menikah. Agak protes kenapa aku gak diundang, dia jawab “Aku we yo ra iso teko kok. Wong isih ndek sekolah ndek Malaysia. Padahal ming kari seminggu aku mulih lo. Kok yo ra gelem ngenteni..(Aku saja juga tidak bisa datang kok, waktu itu masih kuliah di Malaysia. Padahal tinggal seminggu lagi aku pulang. Tapi anaknya tetap tidak mau menunggu)”
Aku sempat nyeletuk, lah kok begitu ‘balas jasa’ orang-orang yang pernah ditolongnya. Tapi dia jawab dengan pelajaran yang sangat berharga. Katanya (kira-kira begini) “Aku bertransaksi dengan Allah. Aku tidak mengharapkan balasan dari yang aku biayai. Tapi aku yakin Allah mencatat. Nanti suatu ketika saat aku membutuhkan, seperti asuransi aku bisa mengajukan klaim. Entah dari mana, Allah akan mencairkannya untukku. Tidak harus dari mereka (yang pernah aku biayai).”
Subhanallah *speechless...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H