Lihat ke Halaman Asli

Estri shinta

Penulis kambuhan, mari berbagi kata dan sapa

Novel : Borobudur Masih Menunggu #6

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14192346621957447369


Mekar

Ternyata Wie mengajakku ke pasar malam. Setelah melalui perjuangan panjang, harus mencari berbagai alasan plus bantuan dari Mas Keling meyakinkan Mama dan Papa akhirnya aku berhasil keluar rumah, untuk bertemu dengan Wie.

"Memang mau ngapain sih, Wie?" aku penasaran. “Kalau tau ke sini sih mendingan aku pulang saja deh.”

“Eit, tidak bisa!” Wie mencekal tanganku. “Aku mau menunjukan sesuatu yang kereeen.”

Tanganku ditarik ke arah tempat yang sangat kubenci, Tong Setan. Tempat yang pernah membuatku trauma.

"Jangan mulai deh, Wie. Ini nggak lucu!" Aku mulai marah. "Kamu pikir bagus apa, aku bela-belain membohongi orang tuaku hanya untuk melihatmu jumpalitan menentang maut? Kirain mau ngasih kejutan apa…," aku ngomel-ngomel sendiri.

Wie cengengesan.

"Nggak lucu tau nggak?!" Aku berniat meninggalkan tempat itu.

Tapi tangan Wie mencekalku lagi. Lalu dia berkata serius, "Aku janji, Cantik. Ini adalah atraksi terakhirku."

Aku tercenung. Atraksi terakhirnya? Apa maksudnya? Ihh, aku suka membayangkan yang nggak-nggak tiap Wie menyebutkan kata-kata yang berbau-bau ‘terakhir’. Dia tuh suka sekali bermain-main dengan nyawa, soalnya.

"Makanya kamu harus melihatku," katanya lagi.

Di sepanjang permainan Tong Setan itu kepalaku berdenyut sakit. Terlebih ketika motor Wie meraung kencang, jantungku sepertinya ikut melayang. Bagaimana jika motor Wie terpeleset, atau roda-roda itu tidak kembali ke tempat yang semestinya. Tak bisa kubayangkan apa yang akan terjadi pada kepala Wie yang tidak memakai helm itu….

Kupejamkan mataku untuk menepis segala kemungkinan buruk. Tak henti-hentinya aku berdo’a. Roda gila itu pasti melaju dengan sangat kencang memutari tong setan, kupingku sampai pekak mendengarnya. Satu kali, dua kali, tiga kali… untuk selanjutnya aku tak berani menghitung lagi. Badanku sudah lemas. Sampai kudengar raungan motor itu melemah dan tepuk tangan membahana. Barulah aku merasa lega.

"Bagaimana?" Wie menghampiriku dengan senyum kemenangan. “Gaya menukik seperti itu kuberi nama patukan King Kobra. Ciaawww!” Dia menirukan gerakan Bruce Lee. “Kupelajari selama dua bulan dan aku yakin atraksiku tadi disukai banyak orang. Hebat kan?”

Hebat, gombalmu mukiyo?” aku gondok tak terkira.

Dipeluknya pinggangku dari belakang. Terus terang aku masih gemetaran, tapi aku kesal setengah mati. Meski Wie berusaha merayuku, tetap saja aku masih kesal. Kutinggalkan Wie dan turun dari area tong setan dengan hati kesal.

"Jangan ngambek dong, Say!" Wie mengejarku.

“Nggak ngerti banget sih kamu?”

Wie malah cengengesan. "Maksudku, seharusnya kamu tuh sebagai pacarku sudah terbiasa dengan hobiku, seharusnya sudah kebal. Masak melihat begini saja takut?"

Darahku mulai naik lagi. "Kamu pikir lucu? Melihat orang yang kita sayangi bermain-main dengan maut, di depan mata kita? Yang sewaktu-waktu hal buruk bisa terjadi sama dia?"

"Ckckck, segitu khawatirnya ya…," Wie cengengesan lagi.

Kutinggalkan Wie begitu saja.

Wie mengejarku, "Iya-ya, itu tandanya kamu sayang sama aku. Ngerti…."

"Ingat, Wie! Kamu sudah janji bahwa ini adalah atraksi terakhirmu!" Aku menagih janjinya.

"Trus?!"

“Ya tepatin dong!”

"Kan kamu yang bilang, aku tukang ngegombal? Mana bisa tukang ngegombal dipercaya? Haha, ketipu lagi….”

Kucubit perut Wie dengan marah. Tuh kan, dia bohong lagi? Dan Wie tertawa senang karena berhasil mengelabuiku. Mungkin ini sudah yang kesepuluh kalinya, dan anehnya aku selalu mempercayainya. Sebelumnya dia pernah berjanji, tidak akan main kebut-kebutan lagi, tidak akan balap liar lagi, selalu membawa helm kemanapun dia pergi. Ternyata tak satupun ditepatinya.

"Eh, kita naik kincir angin, yuk!" Wie sudah menarik tanganku sebelum aku membahas janjinya lebih lanjut. "Nggak mau, aku gendong nih!” Wie mengancamku.

Aku menyerah sebelum Wie membopongku beneran. Dia itu pemuda nekat. Bocah tua gila! Reaksinya tak terduga. Dan sungguh tak tau malu. Aku ‘terpaksa’ naik dengan suka-rela. Mendahului Wie yang tertawa-tawa senang masuk tanpa karcis. Seluruh penjaga stand di pasar malam ini adalah temannya. Dia lebih berkuasa daripada pemkot yang melegalkan pasar malam keliling ini.

Ketika kincir angin mulai berputar dengan suara derit yang sedikit mengganggu, kurapatkan badanku ke dalam pelukan Wie. Wie balas memelukku, masih dengan senyum khasnya - tanda kemenangan. Lalu berubah manis. Kekesalanku melumer.

Malam menjadi sangat indah. Dengan lampu warna-warni dan segala pernak-perniknya, baru kusadari ternyata kemarahanku pada Wie tak bisa berlangsung lama. Pasar malam ini terasa lain, mungkin karena ada Wie di sampingku.

Sebenarnya masih banyak permainan lain. Selain tong setan dan kincir angin masih ada alap-alap, komedi putar, rumah hantu dan berbagai stand yang menjual berbagai macam barang atau pernak-pernik. Tapi Wie selalu mengajakku naik kincir angin. Nyaman dan hangat di sini. Duduk berdua, di dalam keranjang sempit untuk kemudian berputar naik-turun. Angin membuat rambutku meriap. Tiba-tiba kutakutkan sesuatu. Mungkin inilah saat yang tepat untuk membahasnya.

"Wie…."

"Hmm?"

Ragu. Kupejamkan mataku untuk mendengar debar di dada Wie. Aku tak segera mengutarakan kekhawatiranku.

"Sampai kapan ya kita begini?" pancingku, pelan-pelan.

Wie mengelus rambutku - mesra. Lalu menatapku serius. "Maksudmu?"

"Kita sudah kelas tiga dan sebentar lagi lulusan. Aku tak tau ke arah mana hubungan kita akan berjalan."

Wie tak paham. "Ada masalah?” tanyanya serius. “Kalau kau ingin menyampaikan sesuatu, katakan saja.”

“Bukan, mm… bukan masalah kita sih. Tapi menyangkut kita juga sih.” Aku bingung bagaimana memulainya. “Itu!” Kutunjuk kalung salib yang dikenakannya.

“Ini?” Wie meraba kalung salibnya. Barulah dia menangkap arah pembicaraanku. Sinar matanya resah. Kurasa dia sudah memikirkannya berulang kali. Meski kami tak pernah membahasnya.

“Tadi Mama menanyakanmu.”

“Trus?”

“Aku mesti jawab apa. Terpaksa aku berbohong.”

“Kamu bohong terus ya?”

Selanjutnya blank, kami terperangkap dalam situasi bingung. Dia sih enak. Aku tau bagaimana penerimaan keluarganya terhadapku. Mama-papanya yang tionghoa sedikit longgar untuk masalah yang satu ini. Wie sudah mengenalkanku pada keluarganya. Dan mereka teramat baik menerimaku. Fine-fine saja. Aku disambut dengan baik. Tapi tidak dengan keluargaku. Pandangan mereka menjadi berbeda setelah mengetahui Wie non muslim.

“Baiklah.” Akhirnya Wie bicara setelah menarik napas panjang. "Bagaimana kalau begini saja. Untuk kamu, Cahya…," Wie berusaha meyakinkan. "Aku mau kok nikah di masjid. Kalau itu melegakan hati mereka. Apapun yang orang tuamu mau."

Membuatku bengong. Bisa segampang itu? “Ah, nggak-nggak ah.” Aku tak setuju.

Semudah itu dan Wie tak perlu minta pendapat orang tuanya? Ini bukan lelucon yang bisa diputuskan secara gampang. Masalah keyakinan bukan masalah sembarang. Apakah orang tuaku bisa percaya begitu saja? Belum lagi orang tuanya. Apakah orang tuanya rela anaknya berpindah agama dengan gampang?

Kata Wie, meskipun dengan restu ataupun tanpa restu orang tua, Wie akan terus memperjuangkan cinta kami. Menurut Wie, masa depan kami cuma kami-lah yang berhak menentukan, bukan orang tua kami. Masalah keyakinan bisa diatur.

Aku jadi bingung. Benarkah, masa depan kami cuma kami yang berhak menentukan? Setauku Mama dan Papa justru mendidikku dengan sebaliknya. Justru di tangan merekalah masa depan kita akan ditata sebaik mungkin. Tidak ada orang tua yang akan menjerumuskan anaknya, begitu Papaku dulu bilang. Semua orang tua selalu menginginkan yang terbaik buat anaknya.

"Aku mencintaimu, Cahya," bisik Wie lembut. "Aku tidak mau kita berpisah hanya karena ini. Ayolah. Kita pasti bisa melaluinya.”

Membuatku bimbang. Sebesar apa Wie mencintaiku?

'Melebihi cinta orang tuaku padaku? Melebihi cintanya pada orang tuanya? Ah, tapi bukankah cinta mereka punya makna yang berbeda, tidak adil bila dibanding-bandingkan?'

"Ini bukan salah kita. Aku tidak pernah minta dilahirkan sebagai Khonghucu atau Nasrani? Bukan salahku jika aku dilahirkan Khonghucu untuk kemudian pindah menjadi Katolik. Atau di kemudian hari menjadi Muslim, siapa yang tau? Dan aku tidak mau hal ini menjadi batu sandungan kita."

Mungkin benar.

Secara praktis dia memutuskan masa depan kami.

“Besok, lusa… kita akan dihadapkan pada masalah yang sama. Okey, supaya kamu tenang. Toh sebentar lagi juga lulusan? Bagaimana kalau kita married? Supaya jelas masa depan kita.”

Blep!

Lampu warna-warni di kereta kami padam. Tepat di puncak putaran, diesel kincir angin mati, bertepatan dengan ikrar suci Wie. Dan kami : aku dan Wie terayun-ayun di puncak angkasa seperti nasib kami yang belum jelas masa depannya. Wie mendekatkan wajahnya hingga kereta kami berderit. Wajahku mungkin memucat. Dengan lembut bibir Wie menyentuh bibirku, di puncak keheningan Wie membuat wajahku yang kurasa memucat menjadi memerah.

Napasku tersengal sesudahnya.Dan ciuman pertamaku itu telah merubah segalanya. Karena setelah itu aku menjadi sangat percaya pada tukang ngegombal ini.

*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline