Lihat ke Halaman Asli

Estri shinta

Penulis kambuhan, mari berbagi kata dan sapa

Novel: Borobudur Masih Menunggu #8

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14192353861762521668


Alternative ABC

Rumah ini adalah rumah impian bagi setiap hati yang tinggal di dalamnya karena dipenuhi dengan cinta dan kasih sayang. Dengan anggota keluarga yang lengkap : Papa, Mama, Mas Keling… mereka selalu ada bila dibutuhkan, saling memotifasi, memberi dukungan atau bahkan saling menasehati bila salah satu dari kami melakukan kesalahan. Di rumah inilah aku tumbuh dan dibesarkan dengan cara yang sangat kusukai.

Sebenarnya Papaku tidak otoriter, apalagi Mamaku yang masih menganggapku seperti gadis kecil sampai aku sebesar ini. Mereka selalu mendukungku dan memberi kebebasan penuh padaku untuk melakukan apapun yang kusuka. Untuk Mas Keling… dia cenderung usil dan menyenangkan, pun begitu ulahnya justru membuat orang semakin sayang sama dia. Kira-kira begitulah gambaran tentang keluargaku.

Menurutku keluarga Wie juga begitu. Aku pernah duduk satu meja makan dengan mereka. Dalam beberapa kunjungan, dalam suatu kesempatan mereka sengaja menyambutku dengan sambutan yang luar biasa. Semacam peresmian bahwa aku diterima dalam keluarganya sebagai seorang menantu. Mereka luar biasa baik, luar biasa ramah dan luar biasa hangat. Papanya Wie berkata saat itu, dialeknya sedikit aneh karena orang Tionghoa tak pandai mengucapkan huruf 'r',

"Kami kelua'r'ga besar. Kalau kamu menikah dengan Wie, kamu ha'r'us bisa be'r'bau'r' tidak saja dengan kami, tapi juga dengan kelua'r'ga yang lain. Ada Apek, Kho Tio bahkan Lai Khong dan Lai Ma di Tulungagung sana. Kamu ha'r'us bisa menempatkan di’r’i menjadi bagian da’r’i me'r'eka."

Ucapan Papa Wie membuatku tersipu. Yang kutau Lai Khong dan Lai Ma adalah sebutan untuk kakek dan nenek, selebihnya aku bingung. Warga Tionghoa mempunya sebutan yang aneh-aneh untuk keluarganya.

Wie menggenggam lembut tanganku waktu itu. Sedang Mamanya mengangguk-angguk setuju dengan kalimat Papanya tadi. Empat adiknya yang lain tak kalah ramainya. Jumlah empat ini dulu sempat mengagetkanku. Tapi aku segera maklum karena kutau orang Tionghoa memang tak takut punya banyak anak. Justru semakin banyak anak mereka akan semakin bangga dan merasa diberkahi, itu kepercayaan mereka. Dan aku menyukai keluarga yang besar ini. Apalagi adik-adik Wie itu lucu dan menyenangkan. Ada saja ulah mereka yang membuatku tertawa. Tapi sewaktu Papanya bicara tadi mereka semua terdiam.

"Papa akan menjadi tua. Kelak Wie yang akan menggantikan Papa, menjadi tulang punggung kelua'r'ga, mene’r’uskan usaha bengkel Papa, juga mengatu'r' adik-adiknya…. Kamu ha'r'us menge'r'ti keadaan Wie."

Keluarga Wie saja mau menerimaku, kenapa keluargaku tak bisa menerima kehadiran Wie? Aku bisa duduk dan merasa nyaman dengan mereka, kenapa Wie tidak? Ini membuatku menjadi sedih.

Jarum jam menunjukan pukul 01.05 ketika aku bersimpuh di hadapan-Nya. Di atas bentangan sajadah yang telah basah oleh air mataku. Kusyu aku memohon. Semoga yang terbaik yang diberikan kepadaku.

Sudah pasti dia bukan imam yang baik bagiku. Karena kami tidak seiman, karena kami sangat berbeda. Tapi dia adalah hambamu yang sangat mencintaiku. Dan aku mencintainya sebagaimana dia mencintaiku. Satukanlah kami ya, Allah dalam selimut cinta-Mu. Supaya kami bisa saling berbagi kebahagiaan dalam cinta.

Kututup lantunan do'aku dengan uraian air mata. Hatiku sedikit lega. Tepat setelah aku melipat sajadahku, Mas Keling menghampiriku.

"Ckckck, istikharah ya?"

Aku kaget karena tak menyangka Mas Keling belum tidur selarut ini. Si tengil ini. Buru-buru kuhapus air mataku.

"Ehh, nangis ya?" Mas Keling kaget melihatku menangis. Lalu seperti biasa, dia mulai cengengesan. "Cyeee, sampai segitunya sholat malam sampai nangis-nangis segala. Pasti habis berbuat dosa."

Aku menjadi sewot. Kupercepat merapikan mukena untuk kembali ke kamar. Hatiku menjadi gondok.

"Kamu pacaran dengan Ping Wie ya?"

Sampai di situ aku berhenti. Aku tergugu. Kutatap lekat-lekat wajah Mas Keling mencari keseriusan dalam kalimatnya barusan. Rupanya Mas Keling memang sedang serius. Wajahnya bersungguh-sungguh.

Giliran aku menjadi panik. "Jangan mengada-ada deh." Aku berusaha mengelak.

Mas Keling mencibir. "Nggak usah bohong. Nanti dosanya tambah lagi." Lalu dia duduk di ruang tengah, mungkin untuk memancingku dan aku memang terpancing karena aku mendekatinya. "Jangan dikira bahwa Mas-mu ini tidak memperhatikan gerak-gerik adiknya. Orang kalau lagi jatuh cinta itu kelihatan dari sorot matanya, Cahya."

"Sok tau."

"Sikapmu itu nggak bisa membohongi Mas, bahwa kamu jatuh cinta sama Ping Wie. Iya kan?"

Jadi Mas Keling memata-mataiku? Aku menunjukan wajah tak suka.

"Bukan saja Mas, semua orang juga tau bahwa kamu itu sedang jatuh cinta. Apalagi Mas… Mas-mu ini kan pakarnya dalam hal percintaan? Jadi nggak usah bohong deh kalau sama Mas Keling. Mendingan kamu jujur saja, siapa tau Mas Keling bisa bantu masalahmu?"

Kalau semua orang bisa mengartikan sikapku bahwa aku menyukai Wie, berarti alangkah dasyatnya rasa sukaku itu? Padahal aku sudah mati-matian menutupinya, berusaha bersikap seolah tak ada apa-apa di antara kami. Meskipun capek dan melelahkan bersikap seperti itu. Tapi kenapa masih terbaca juga ya? Benar kata Mas Keling, mata adalah jendela hati dan tidak bisa menipu. Apakah aku harus memakai kacamata hitam supaya Mama dan Papa tidak mencium hubungan kami? Atau jangan-jangan, justru mereka sudah tau?

Sampai di sini aku panik. Kulihat Mas Keling justru kalem. Aku jadi menyimpulkan lain. Apakah Allah mendengar do'aku barusan dan mengirim Mas Keling sebagai malaikat penyelamatku? Karena memang aku tak punya malaikat penolong. Lebih-lebih waktuku sempit, sebentar lagi kelulusan sekolah jadi aku harus berpikir cepat. Mungkin salah satu dari tiga alternative ini bisa dipilih :

Alternative pertama : aku bicara baik-baik sama Mama dan Papa mengenai hubunganku dengan Wie, dengan resiko terburuk mereka tidak merestui hubungan kami dan aku terpaksa berpisah dengan Wie (dan sepertinya mereka memang tidak akan merestui kami).

Alternative kedua : aku menikah secara diam-diam dengan Wie. Sementara Wie pergi ke Singapura akupun bisa melanjutkan kuliahku di sini. Sampai waktu memungkinkan kami untuk bersatu, mungkin empat atau lima tahun lagi, barulah kami mengumumkan pernikahan kami itu pada Papa dan Mama (wah-wah, sebenarnya ini adalah cara yang paling aman. Tapi menurutku sangat tidak manusiawi).

Alternative ketiga : aku kawin lari dengan Wie, terlepas Papa dan Mama menyetujui atau tidak. Yang penting kami sudah menikah. Mungkin Papa dan Mama akan marah di tahun pertama atau kedua. Tapi sesudahnya kami berharap mereka akan merestui hubungan kami. Dan kami bisa hidup tenang sesudahnya.

Sepertinya alternative ketiga inilah yang akan kami lakukan. Tapi nggak ada salahnya aku bertukar pikiran dengan Mas Keling, bagaimana pendapatnya mengenai hal ini.

"Menurut Mas?" Setelah menceritakan secara detail rencana-rencana kami itu, akhirnya kuakui aku memang butuh bantuan Mas Keling.

Mas Keling melongo. Wajahnya kaku.

"Mas?!" Kugoyang-goyang bahu Mas Keling.

"Astagfirullah… " Mas Keling menarik napas panjang, mungkin tak menyangka bahwa aku sudah berjalan sejauh itu dengan Wie."Bercanda kamu?"

"Aku serius Mas."

Mas Keling menggeleng tak percaya.

"Wie sangat mencintaiku dan aku sangat mencintainya, Kami pasti akan hidup bahagia. Menurut Mas bagaimana?"

Mas Keling tak menjawab. Baru kali ini kulihat wajah Mas Keling tegang. Setelah beberapa saat, "Aku nggak ikut-ikutan deh." Dia ngeloyor ke kamarnya dengan wajah yang tak bisa kutebak kesimpulannya.

*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline