Lihat ke Halaman Asli

Perlukah memperingati hari Ibu? Tidak Semua Ibu berhati Mulia

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Saya dibesarkan dalam keluarga yang miskin, Ibu saya meninggalkan kami ketika saya berumur 10 tahun. Ibu meninggalkan Bapak, saya dan adik perempuan saya Yohana, karena Bapak miskin. Seringkali terjadi pertengkaran diantara mereka, dan Ibu selalu mengancam akan meninggalkan Bapak. Hal yang sepele seringkali menjadi pemicu pertengkaran, makanan tidak ada lauknya, kekurangan uang untuk beli sabun, dan lain sebagainya, seringkali menjadi pemicu pertengkaran.

Ancaman-ancaman Ibu untuk meninggalkan Bapak akhirnya menjadi kenyataan. Guratan penderitaan ayah membuat hati kami sakit. Peran Bapak akhirnya juga sebagai Ibu, mencuci, masak, dan mencari uang untuk menafkahi kami dan menyekolahkan kami. Sedangkan Ibu pergi entah kemana. Sosok Ibu yang menjadi panutan kami kami anak-anaknya, justru tega meninggalkan kami. Terlalu pedih untuk diceritakan. Setelah Ibu meninggalkan pergi, lambat laun timbul kebencian saya terhadap sosok Ibu. Kebencian itu semakin hari semakin mengakar dalam sanubari.

Setamat sekolah, saya berjuang keras untuk membantu Bapak yang kondisinya sudah semakin renta dan sakit-sakitan. Ada hikmah dibalik penderitaan kami. Penderitaan-penderitaan yang kami alami justru membentuk kami menjadi pribadi yang tangguh dan pantang menyerah.  Kini Bapak sudah tiada, dan Ibu tidak tahu ada dimana.

Selamat hari Ibu.

- Dari Silas dan Yohana




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline