Lihat ke Halaman Asli

Sila Faizatul Hayati

Universitas Mulawarman

Begitu Sulit Jadi Guru Honorer

Diperbarui: 11 Desember 2024   09:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berita-berita mengenai guru honorer ini rasa-rasanya hanya menjadi penghias berita harian oleh pemerintah. Berita tersebut mengungkapkan betapa sulitnya menjadi guru honorer di Indonesia, terutama dalam hal kesejahteraan dan pengakuan terhadap profesi tersebut. Guru honorer sering kali dianggap sebagai kelas terendah dalam dunia pendidikan dibandingkan dengan guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) atau Aparatur Sipil Negara (ASN) bersertifikasi. Padahal, banyak bukti nyata dari kegigihan guru honorer yang mampu mengantarkan peserta didiknya menggali potensi lebih dalam hingga meraih kejuaraan-kejuaraan bergengsi nasional maupun internasional. Para guru honorer memiliki kompetensi yang setara dengan guru PPPK maupun ASN, namun hingga saat ini penghargaan terhadap pekerjaan mereka masih jauh lebih rendah.

Masalah utama yang dihadapi guru honorer adalah gaji yang sangat kecil. Banyak guru honorer hanya menerima Rp 300.000 per bulan, dan mirisnya di beberapa daerah gaji ini bisa lebih kecil karena dihitung berdasarkan jam mengajar. Misalnya, seorang guru honorer yang hanya dibayar Rp 6.000 per jam mengajar. Angka ini jauh di bawah upah minimum di daerah manapun di Indonesia. Situasi ini mengakibatkan banyak guru honorer mencari pekerjaan paruh waktu atau justru beralih profesi karena gaji yang dierima tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Perlu diingat bahwa masalah kesejahteraan guru honorer berhubungan erat dengan sistem pendidikan di Indonesia yang tidak terencana dengan baik. Di Malaysia, misalnya, pemerintah memiliki sistem perekrutan guru yang lebih terstruktur dan terencana sejak mahasiswa masih di universitas. Negara tersebut melakukan pendataan tentang kebutuhan guru dan menyesuaikannya dengan jumlah mahasiswa yang diterima di universitas keguruan. Dengan begitu, jumlah lulusan guru lebih sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Sebaliknya, di Indonesia tidak ada regulasi yang membatasi penerimaan mahasiswa keguruan di universitas, yang menyebabkan banyak lulusan baru terjebak dalam status sebagai guru honorer dengan gaji seadanya.

Akibat dari kondisi ini adalah pendidikan di banyak daerah terpencil sangat bergantung pada guru honorer. Di banyak sekolah swasta atau di daerah terpencil, tidak ada guru ASN karena guru ASN biasanya terkonsentrasi di kota-kota besar. Guru honorer harus mengisi kekosongan ini, tetapi tantangannya adalah tingginya tingkat pergantian guru honorer. Pergantian ini menyebabkan ketidakstabilan dalam proses pembelajaran. Setiap kali ada guru baru, gaya mengajar dan materi bisa berubah drastis, yang mengganggu kesinambungan pembelajaran bagi siswa.

Contohnya penerapan Kurikulum Merdeka di Indonesia, yang dimaksudkan untuk memberikan pendidikan yang lebih sesuai dengan kemampuan individual siswa, juga menjadi tantangan besar di tengah kondisi ini. Kurikulum ini menekankan pembelajaran berdiferensiasi, di mana guru harus menyesuaikan metode pengajaran dengan kemampuan masing-masing siswa setelah melakukan tes diagnostik. Namun, metode ini akan sulit dilakukan di kelas dengan jumlah siswa yang terlalu banyak. Di banyak sekolah Indonesia, satu kelas bisa terdiri dari 40 siswa, sementara di negara-negara maju, satu kelas idealnya hanya diisi oleh 20 siswa. Jumlah siswa yang terlalu banyak dalam satu kelas menghambat guru untuk memberikan perhatian yang cukup pada setiap individu.

Untuk mengatasi masalah ini, perlu adanya perbaikan infrastruktur pendidikan, khususnya meningkatkan jumlah guru yang memadai di setiap sekolah. Pemerintah juga perlu memperhatikan kesejahteraan guru honorer dengan memberikan gaji yang lebih manusiawi, minimal Rp 1.000.000 per bulan. Dengan gaji yang lebih layak, guru honorer bisa lebih fokus dalam mengajar dan tidak harus mencari pekerjaan sampingan untuk bertahan hidup. Gaji yang sangat rendah seperti yang diterima oleh banyak guru honorer saat ini merupakan bentuk pelecehan terhadap profesi guru. Harapan untuk mencapai model pendidikan kelas dunia sangat tidak realistis jika kesejahteraan guru honorer tidak diperhatikan.

Selain memperbaiki gaji, penting bagi pemerintah untuk segera membuat regulasi yang lebih ketat terkait jumlah penerimaan mahasiswa keguruan di universitas, seperti yang dilakukan oleh Malaysia. Jumlah lulusan guru harus disesuaikan dengan kebutuhan lapangan kerja agar tidak terjadi surplus lulusan yang berakhir menjadi guru honorer dengan gaji seadanya.

Di sisi lain, implementasi Kurikulum Merdeka juga memerlukan perhatian yang lebih serius. Kurikulum ini memang berpotensi untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, tetapi hanya jika diterapkan dengan benar dan dengan dukungan infrastruktur yang memadai. Sekolah-sekolah di Indonesia, terutama di luar Jawa, membutuhkan sumber daya yang cukup untuk menjalankan kurikulum ini secara efektif. Jumlah siswa dalam satu kelas harus dikurangi agar guru bisa memberikan perhatian individual kepada setiap siswa, namun hal ini memerlukan penambahan jumlah rombongan belajar (rombel) serta jumlah guru. Selain itu, penting bagi pemerintah untuk tidak hanya berfokus pada pengembangan aplikasi pendidikan sebagai ukuran keberhasilan pendidikan.

Secara keseluruhan, berita ini berfokus pada ketidakadilan yang dialami oleh guru honorer dan perlunya perbaikan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Jika pemerintah serius ingin meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, langkah pertama yang harus diambil adalah memastikan bahwa guru honorer mendapatkan penghargaan yang layak, baik dari segi gaji maupun pengakuan atas pekerjaan mereka. Selain itu, reformasi sistem pendidikan yang lebih terencana dan terstruktur harus segera dilakukan, mulai dari perekrutan guru hingga pelaksanaan kurikulum.Transparansi dalam pengambilan keputusan dan penyusunan kebijakan pendidikan juga sangat dibutuhkan. Hingga saat ini, banyak pihak mempertanyakan keberadaan cetak biru pendidikan dan peta jalan (road map) pembangunan pendidikan di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline