Lihat ke Halaman Asli

ST Harson

Freelance Writer - Content creator

Memahami Arti Ajakan "Kembali ke Betlehem"

Diperbarui: 19 Desember 2024   16:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi kelahiran Yesus di Betlehem. (AI generated image)

Sebentar lagi umat Kristiani di seluruh dunia akan merayakan Natal. Perayaan yang jatuh pada 25 Desember ini memperingati momen saat Allah menjadi manusia dalam rupa Yesus - di Betlehem.

Kali ini para pemimpin gereja di Indonesia (KWI dan PGI) sepakat mengusung Kembali ke Betlehem sebagai tema Natal tahun 2024.

Ajakan untuk kembali ke Betlehem memiliki makna yang dalam, yakni agar umat kristiani kembali pada esensi spiritualitas Kristiani, yakni kasih, damai, keadilan, dan kesederhanaan. Pesan ini menjadi sangat relevan saat dunia tenggelam dalam konsumerisme, kerakusan, dan ketidakpedulian ekologis.

Paus Fransiskus dalam berbagai kesempatan menekankan bahwa inti dari perayaan Natal adalah kesederhanaan, sebuah nilai yang tercermin dari peristiwa kelahiran Yesus di Betlehem.

Dalam kotbahnya pada malam Natal di Basilika Santo Petrus, 24 Desember 2021, Paus menyampaikan:

"Di Betlehem, Tuhan memilih untuk lahir dalam kemiskinan dan kerendahan hati. Dunia yang serakah memuliakan kekuasaan dan kemewahan, tetapi Tuhan datang dalam kelemahan dan keheningan, menjadi santapan bagi kita. Kita harus meneladani-Nya."

Kembali ke Betlehem berarti meninggalkan obsesi akan materi dan mengembalikan hati kepada nilai-nilai spiritualitas yang mendalam, yakni solidaritas dengan kaum miskin, perawatan bagi ciptaan Tuhan, serta penolakan terhadap kerakusan ekonomi yang menciptakan kesenjangan.

Dalam ensiklik Laudato Si' (2015) Paus Fransiskus dengan jelas menyerukan bahwa kerusakan ekologis adalah konsekuensi dari keserakahan manusia. "Bumi kita yang indah adalah rumah bersama, namun kita mengubahnya menjadi tumpukan kotoran, karena kita telah melupakan panggilan untuk menjadi penjaga, bukan pemilik."

Natal di tengah realitas konsumtif

Pada masa Natal, godaan untuk jatuh dalam konsumsi berlebihan mencapai puncaknya. Fenomena ini tidak hanya sekadar ekonomi, tetapi juga cerminan dari krisis rohani. Kita sering menjadikan perayaan ini sebagai momen untuk memperbanyak materi, melupakan panggilan Kristus untuk berbagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline