Untuk itulah, momen kali ini memantik hati dan jari jemari ini untuk memulai hal baru. Puasa bermedia sosial, dan menggantinya dengan menulis.
Media sosial itu ibarat pisau bermata dua.
Satu sisi dia memberi manfaat positif, di sisi lain juga negatif. Penggunaanya pun dapat mempengaruhi kualitas hidup kita. Tapi tak jarang kita lihat, bahwa media sosial malah menimbulkan dampak negatif, stres, jengah, mental illness, dan lain sebagainya.
Apa yang kita lihat, apa yang kita komentari, dan apa yang kita maknai seringkali tidak sesuai dengan kehidupan nyata. Malah membuat kita gundah gulana. Tiada asa untuk mengasa diri dan melangkah.
Belum lagi, ketika bertemu dan menghadapi tajam dan pedasnya komentar netizen. Kadang-kadang membuat kita esmosi, ingin rasanya me..sudahlah. Seperti apa yang pernah saya rasakan beberapa waktu lalu di twitter.
Ceritanya begini, ada satu isu di wilayah tertentu, dan di beritanya disebutkan isu ketimpangan sosial yang terjadi di salah satu daerah, padahal sudah banyak anggaran digelontorkan.
Lalu, jemari ini sponton melakoni riuhnya kolom komentar. Singkat cerita, saya mempertanyakan besaran anggaran itu. Celakanya, saya salah tulis nominalnya. Dalam beberapa menit saya jadi bulan-bulanan netizen di sana. Mulai yang identitasnya sangat jelas, hingga anonim pun ikut mengomentari.
Saya pun tak tahan dengan respon mereka, apalagi saat itu adalah momen pertama saya ikut mengomentari suatu isu. Biasanya paling bantar hanya like dan retweet saja. Saya merasa kesal, dan sedikit sakit hati. Bahkan untuk meniadakan notifikasi, saya langsung hapus komentar sebelumnya.
Untuk itulah, momen kali ini memantik hati dan jari jemari ini untuk memulai hal baru. Puasa bermedia sosial, dan menggantinya dengan menulis. Puasa media sosial bukan berarti berhenti total menggunakan media sosial.
Namun, membatasi waktu, terutama jari-jemari ini untuk tidak menyelami ruang komentar dan bertikai di sana.
Puasa bermedia sosial untuk menulis, juga bermakna sebagai cara mengurangi stres dan meningkatkan kesehatan mental diri. Menulis dapat digunakan sebagai sarana berbagi atau menyoroti isu terkini.
Bila di media sosial saya kesal dengan sesuatu isu, maka itu mesti ditanggapi dengan menulis. Menuangkan uneg-uneg diri, menyimpannya dalam diari, blog pribadi, dan tentu kompasiana yang dapat media berbagi dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti kata Prof Azyumardi Azra, bahwa ramadhan adalah penguatan solidaritas, dan jejaring sosial masyarakat. Dan itu dapat diwujudkan dengan berbagai cara. Misalnya menjaga kesantunan di media sosial (Harian Kompas 12/4/2021).