Lihat ke Halaman Asli

Di Tengah

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Di tengah persimpangan jalan itu, dia berteriak, “ BERHENTI! BERHENTI! BERHENTI!”

Aku berhenti sejenak, ku beranikan menatap wajahnya.

Di tengah rasa marahnya, dia menangis.

Aku balikan tubuhkan, dan terus berlari.

Berlari diantara rentetan rumah.

Berlari tak tahu menentu arah.

Berlari dan hingga aku terjatuh.

Aku menangis terisak-isak.

“ Kemana aku harus pergi?” batinku bertanya, hatiku menanti, jiwaku kosong.

Tubuhku tak mampu aku gerakan. Aku tutup wajahku dengan kedua tanganku.

Ku berbaring menatap sang langit.

Sekerumunan orang menatap tubuhku.

Mereka seakan bertanya, mereka seakan berpikir, mereka seakan kasihan.

Aku tempiskan tangan mereka.

Di tengah mereka, aku hanya melihat wajah-wajah bertopeng.

Di tengah mereka, dia masuk dalam kerumanan itu.

Di tengah mereka, Dia seakan bersinar.

Dia bukan yang aku tinggalkan, tapi Dia yang membuat aku hidup.

“ AKU TIDAK TAHAN!” teriakku padaNya.

Dia hanya tersenyum. Di tengah amarah campur sedihku, Dia tundukkan tubuhnya.

Mengangkat aku dari tanah tempat aku berbaring.

Air matakku terus mengalir.

Dia gendong aku kembali ke rumah.

“ AKU TIDAK MAU!” teriakku dan rontahku padaNya.

Dia tidak berkata apa-apa selain tersenyum.

Sekerumunan orang yang melihat aku berteriak-teriak.

Dan Dia membawaku untuk melihat kedua tatapan manusia itu.

Tatapan yang sedih, tatapan di tengah kekhawatiran dan penyesalan.

Tatapan yang inginkan aku kembali.

Tapi Dia justru membawaku ke tempatNya di surga.

Ku dengar ayah berkata, “ AKU MENYESAL! AKU MENYESAL!”

Dan ibuku berbisik dalam tangisnya, “ KEMBALILAH! Kembalilah anakku!”

Saat itu mereka menemukan tubuhku terbaring kaku dan nafasku menghilang untuk selamanya.

Terakhir yang aku ingat, aku tidak tahan dengan pertengkaran mereka yang tiada berhenti sepanjang hidupku, hingga membuatku nekat berteriak dengan penuh amarah.

Menuding mereka, membuka topeng mereka, dan lari dari hadapan mereka.

Seakan doaku didengar olehNya.

Di tengah hidup dan mati, aku temukan selalu.

Jakarta, 11 Oktober 2010

cerita ini hanyalah fiksi belaka. hanya bayangan penulis tentang seorang anak yang seumur hidupnya terlalu merindukan keharmonisan orang tuanya, yang tidak pernah ia dapatkan. dan ketika ia berdoa untuk pergi selamanya, doanya dikabulkan.

intinya, ketika kau memutuskan punya anak, jagalah dia. jagalah hatinya, jagalah hidupnya. jangan sampai menyesal.

yang dibutuhkan seorang anak hanyalah kasih sayang. dan yang dititipkan oleh sang ilahi bukanlah TOPENG tapi KESUNGGUHAN RASA SAYANG itu. ^^

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline