Lihat ke Halaman Asli

Nanda Pahlawan Woody

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari lalu aku disambungkan bertelepon dengan anak kecil ringkih. Pada telepon yang pertama kedengarannya ia cuma bergumam saja, tapi ketika disambungkan telepon untuk kedua kalinya kudengar permintaan singkatnya ditengah suara tak beraturan, “Pak De, minta dibelikan Woody..” Dan aku berjanji mengiyakan, seraya menghibur disertai harap, “Nanda cepat sembuh ya nak.”

Woody yang dimaksudnya adalah mainan Andy dalam kisah film Toys Story. Aku tak tahu entah kapan Nanda nonton film Toys Story dan kemudian menyukai tokoh Woody si koboi nyentrik.
Sebelumnya aku memang sudah dikirimi foto Nanda sedang terbaring di rumah sakit Adam Malik Medan. Badannya kurus kering dan satu dua selang tersambung ke tubuhnya, termasuk bantuan oksigen untuk bernafas. Paru-parunya memang sedang diserang hebat. Konon itulah pembicaraan terakhirnya, setelah itu ia tak bisa bicara lagi. Cukup dengan mengedipkan mata untuk kode ‘iya.’

Nanda (10 thn), begitu ia dipanggil, adalah anak kecil biasa diantara jutaan anak yang tersisihkan di muka bumi ini. Hidupnya terdampar kesana sini, berpindah-pindah dari rumah ke pondokan lain. Aku tak tahu ia orang dari suku mana, tapi aku tak peduli. Mulanya ia piatu, dan tak lama sesudahnya ia yatim piatu. Masih begitu kecil ketika kedua orangtuanya meninggal dunia. Lalu hidupnya pun tersandera oleh HIV/Aids.

Jika ke Medan aku sering menemuinya, menuntunnya. Dan tangannya yang rapuh menggenggam erat tiga jariku, seakan tak mau melepas. Dalam denyut genggamnya aku merasa ia merindukan ‘ayah.’ Sering ia minta digendong dipunggung, dan aku tak keberatan. Selain untuk menyenangkannya, juga karena tubuhnya tak berat, bahkan sangat ringan. Kalau aku datang, ia tahu akan diajak jalan-jalan, dan makan di restoran, dan dapat mainan. Ketika tenggelam dalam kesibukan maka Nanda akan telepon, ‘kapan Pak De datang?’ tanyanya riang.
Nanda memang penuh tawa, suka usil, dan statementnya sering mengejutkan untuk anak seusianya. Referensinya cuma dari pembicaraan sekitar dan percakapan di TV, sebab Nanda memang belum bisa membaca. Sekolah yang didera stigma ‘menolak’ untuk menerimanya, seolah melegalisasi bahwa penderita HIV/Aids harus ‘disingkirkan.’ Tapi Nanda tak hirau. Hatinya terlalu putih untuk terluka. Apalagi sesungguhnya ia anak cerdas.

Kegembiraannya otentik, sebab dalam kesadaran kesakitan dan hidup terbatas, ia kerap tertawa terbahak-bahak. Seolah menertawakan ironi kehidupan. Puluhan kali masuk rumah sakit dilakoninya dengan ringan. Bahkan sekian kali menyaksikan anak-anak sebayanya menghembuskan nafas di ranjang sebelah adalah realitas yang dilihatnya dengan datar.

Baginya angka sembilan paling diingat. Jam sembilan pagi minum antiretroviral dan jam sembilan malam minum antiretroviral. Begitulah rutinitas itu ditekuninya selama bertahun-tahun. Minum obat sepahit apapun dilakukan dengan senyum. Ia mengerti dengan takdirnya.

Pernah ia batuk hebat sambil bersimpuh dikakiku, sampai dadanya terlihat melengkung. Setiap tarikan batuknya seolah membongkar tulang tubuhnya. Air matanya keluar menahan sakit, mukanya merah dengan mulut megap meraih secuil udara untuk paru-parunya. Mengenaskan. Dan air mataku jatuh sambil memeluknya.

Tapi setelah batuknya reda ia kembali tertawa. “Pak de, kapan kita jalan-jalan?” Adalah teman crew Net.TV yang menganjurkan Nanda memanggilku ‘Pakde.’

Sejak permintaan via telepon itu aku pun berburu woody, seperti mencari koboi pengembara di padang pasir. Beberapa toko mainan kudatangi tapi kebanyakan cuma boneka perempuan. Kali ini boneka benar-benar tak memihak anak lelaki. Memang kulihat ada di penjualan online, tapi aku khawatir pengirimannya lama.

Aku sadar sedang berlomba mencapai garis Tuhan bagi Nanda. Kakaknya Nanda beritahu via inbox fB, “Dia asik kedipkan mata aja kalo ditanyakin woody itu.” Aduh…

Orang yang kuminta mencari di Medan juga tak menemui Woody. Malah si Buzz Lightyear yang banyak bertengger di etalase mainan. Tadi siang boneka itu ditemukan di Central Park tapi kubatalkan, karena kulihat jauh dari profil Woody. Terlalu lebay untuk tokoh sang koboy.
Oh Tuhan, kenapa Nanda meminta ‘barang sederhana’ yang justru sulit kutemukan dikesakitannya yang semakin kritis? Beberapa hari ini aku berjalan jauh dengan lutut tertekan, setengah menangis menyisiri toko demi toko. Mungkin aku yang kurang gigih, atau tak menemukan kidz station yang tepat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline