Lihat ke Halaman Asli

Kisruh DPR Adalah Dosa Mahkamah Konstitusi

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kepentingan partai politik dan elitnya membuat kondisi DPR terus memanas karena nafsu politik untuk jegal menjegal dan kuasa menguasai. Insiden banting meja karena perebutan jabatan pimpinan komisi kian memperburuk citra lembaga DPR. Kepentingan rakyat yang semestinya diatas segalanya terancam karena ulah mereka yang (katanya) terhormat.


Jika ditelusuri, kisruh DPR akhir-akhir ini merupakan akibat dari 'dosa' Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak bisa meredam nafsu partai politik melalui anggota DPR. Memang, MK tidak mempunyai wewenang mengawasi DPR, tapi MK memiliki wewenang membatalkan undang-undang yang dibuat oleh DPR.


Kunci persoalan di DPR saat ini berawal dari Undang-Undang nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3). Walaupun pengesahannya dan isinya sesuai dengan peraturan, pembuatan UU MD3 ini jelas terlihat (oleh mata awam sekalipun) hanya untuk kepentingan politik. Tambah lagi, saat pengesahan UU MD3, wakil rakyat telah terpecah menjadi dua poros kekuatan politik pendukung capres.


MK memiliki kesempatan untuk membatalkan UU MD3 melalui uji materi yang diajukan PDI Perjuangan beberapa waktu lalu. Entah karena majlis hakim MK tidak 'jeli' atau juga karena 'memperjuangkan' kepentingan politik sehingga menolak gugatan tersebut.


Sah-sah saja menduga hakim MK terinfeksi politik, karena Ketua MK sebelumnya, Akil Muchtar sangat piawai bermain politik dalam sidang-sidang dan putusan seputar sengketa pilkada. Mungkin yang kurang sah menilai hakim tidak jeli, karena mereka adalah wakil tuhan yang semestinya memiliki pengetahuan dan kearifan tuhan dalam melihat dan memutuskan.


Untuk lebih aman, saya menilai hakim tidak jeli saja, karena saya tidak memiliki bukti kalau dikaitkan putusan hakim karena ada kepentingan politik. Siapa tahu MK benar-benar serius untuk bersih-bersih setelah KPK membuka fakta kelakuan seorang hakim konstitusi bernama Akil Muchtar.


Namun dari 9 hakim MK, ternyata ada 2 hakim yang sangat jeli melihat 'masa depan' penerapan UU MD3 itu atau dengan kata lain 7 hakim lainnya tidak jeli. Tentu saja kalah suara, 2 lawan 7, makanya pendapat 2 hakim itu tidak bisa membatalkan UU MD3 tersebut atau dalam bahasa hakim, menolak gugatan pemohon.


Siapa dua hakim yang saya nilai sangat jeli itu? Mereka bukan Hamdan Zoelva yang merupakan Ketua MK atau juga Patrialis Akbar yang sebelum menjadi hakim adalah politisi. Dua hakim itu bernama Arief Hidayat dan Maria Farida Indrati yang memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion saat membacakan amar putusan ketika sidang putusan itu.


Dikutip dari kompas.com dalam salah satu dissenting opinion-nya, Maria berpendapat, pada fakta persidangan, UU MD3 khususnya Pasal 84 tidak pernah masuk dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) sebelumnya, tetapi tiba-tiba masuk dalam DIM perubahan pada tanggal 30 Juni 2014 setelah komposisi hasil pemilu diketahui. Dengan demikian, Maria melanjutkan, jika dikaitkan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, maka produk hukum tersebut dibentuk tidak berdasarkan hukum, tetapi karena kepentingan politis semata.


Maria juga mengatakan, jika memperhatikan bukti dan fakta persidangan, maka tidak ada keperluan mendesak untuk mengubah norma Pasal 82 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. Terlebih lagi, tidak pernah ada pembahasan mengenai hal tersebut dalam DIM sebelumnya dan dalam naskah akademik. "Oleh karena itu, menurut saya, pembentukan UU MD3 a quo, jelas melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2001 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang merupakan derivasi dari Pasal 22A UUD 1945 sehingga, secara formal, UU MD3 tersebut cacat hukum dalam proses pembentukannya," ucap Maria.


Sementara itu, Arief berpendapat bahwa mekanisme pemilihan pimpinan DPR dan alat kelengkapannya yang selalu berubah-ubah dalam setiap pemilu dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini, kata dia, bertentangan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf I UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang salah satunya menyatakan bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas ketertiban dan kepastian hukum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline