Lihat ke Halaman Asli

Istiqlal Kini Berkurang Wibawanya

Diperbarui: 15 Februari 2017   12:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Baru-baru ini aksi ‘112’ dilangsungkan di dalam mesjid Istiqlal. Kegiatan do’a bersama dan pidato ceramah dilakukan silih berganti oleh beberapa pimpinan pondok pesantren, politikus, dan ketua ormas Islam. Saya sengaja menonton acara tersebut dari pagi hari hingga siang hari, dalam siaran langsung melalui sebuah saluran TV swasta. Semua pembicara terlihat berpidato dengan penuh semangat. Isi pidato sebagian besar menyangkut kekhawatiran bila hasil Pilkada DKI dimenangkan oleh salah seorang Paslon tertentu.

Berbeda dengan pidato acara perayaan Maulid Nabi yang diselenggarakan secara resmi oleh staf Kepresidenan, dalama acara aksi ‘112’ kemarin posisi penceramah dan jemaah berbaur tanpa jarak dan pembatas. Pakaian serba putih juga menjadi pembeda yang sangat mencolok. Seorang peserta yang memakai batik malah menjadi pemandangan’ganjil’ dalam kerumunan jemaah berbaju serba putih.

Mesjid Itiqlal yang menjadi salah satu ‘icon’ ibukota Negara Republik Indonesia kini telah mengalami perubahan fungsi. Bangunan ibadah  yang digagas oleh Presiden Sukarno tersebut tidak lagi sebagai mesjid milik negara yang menurut pandangan saya tidak boleh digunakan untuk sembarang kegiatan, apalagi untuk ceramah dan pidato politik. Seingat saya, ceramah-ceramah keagamaan di mesjid negara tersebut selalu dilangsungkan dalam format resmi yang sangat terjaga materinya. Tentu tidak boleh sembarang orang boleh memberikan ceramah hari besar Islam maupun khotbah Jum'at. Mereka tentu merupakan pemuka agama yang sangat terpilih. 

Pengalaman diri saya yakni ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di mesjid Istiqlal, untuk sholat Jum’at, pada masa pemerintahan Orba, ada perasaan takjub berada di dalamnya. Karpetnya tebal dan lembut, sehingga saya merasa was-was khawatir bila telapak kaki saya yang basah akan mengotori karpet itu. Udara sejuk yang memancar dari air conditioner yang berdiri di sudut-sudut bangunan. Sejak dulu hingga kini Istiqlal setahu saya tetap menjadi tempat beribadah pilihan umat Islam di Jakarta serta merupakan obyek tujuan wisata bagi para wisatawan daerah yang baru pertama kali datang ke Jakarta. Hal yang wajar sebab bangunan ibadah umat Islam tersebut dibangun oleh Presiden Sukarno melalui proses pemikiran yang mendalam, sebagaimana monument-monumen lain di Jakarta.

Penyelenggaraan aksi 112 dilangsungkan di dalam mesjid Istiqlal belum lama ini tampaknya menjadi awal dari bergesernya fungsi mesjid tersebut yang serupa dengan mesjid kampong, sebagaiman mesjid-mesjid lain di ibu kota (Jakarta). Pidato-pidato politik yang disampaikan oleh sejumlah Kyai dan ustadz dari pendukung Ormas tertentu, sejak pagi hari hingga menjelang adzan Dzuhur, telah mengurangi penilaian saya terhadap Istiqlal. Istiqlal tidak lagi merupakan mesjid kebanggan yang seharusnya menjaga aturan sebagai tempat ibadah terhormat, khususnya bagi warga negara muslim Indonesia. Saya masih bisa mengatakan bahwa mesjid At Tien di TMII adalah mesjid di ibukota yang masih mempunyai aura resmi. Kebetulan mesjid tersebut selain megah juga merupakan mesjid peninggalan penguasa Orde Baru.

Semoga para pengurus Dewan Kemakmuran Mesjid Istiqlal bisa mengembalikan 'roh' mesjid yang menjadi tanggung jawabnya sebagaimana seharusnya. Apalagi dalam beberapa hari mendatang mesjid ini akan merayakan ulang tahun peresmiannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline