Liburan Imlek, Senin, 8 Februari 2016, saya isi dengan piknik bersama istri dan anak saya, ke TMII. Meskipun saya telah berulang kali mengunjungi tempat itu namun tetap saja ada rasa kangen melihat-lihat anjungan rumah-rumah tradisional dan melihat suasananya. Selain itu harga tiket masuknya masih terjangkau.
Pertama kali saya mengunjungi TMII mungkin sekitar tahun 1985. Waktu itu saya lihat keadaan TMII masih sangat bersih. Semua fasilitas transportasi wisata yang disediakan oleh pengelola TMII juga masih bisa digunakan dengan baik. Saya masih bisa duduk merasakan perjalanan rangkaian gerbong kayu yang ditarik lokomotif diesel, menyusuri rel sepanjang 500 meter., dalam lingkup area Museum Transportasi. Tujuannya agar pengunjung yang belum pernah naik kereta api dapat merasakan perjalanan kereta meskipun hanya sekejap. Rangkaian gerbong kayu tersebut berjalan perlahan, mungkin hanya berkecepatan 5 kilometer per jam. Selanjutnya rangkaian berhenti di sebuah replica bangunan stasiun.
Selain bisa menikmati rangkaian kereta diesel kuno yang ditarik lokomotif diesel buatan Jerman, saya juga masih bisa mencoba naik rangkaian gerbong yang ditarik lokomotif uap kuno berukuran mini, yang berjalan menyusuri tepi jalan utama, mengelilingi area TMII. Loko yang umumnya digunakan untuk menarik lori di pabrik gula atau pengangkut kayu gelondongan dari hutan jati, digunakan untuk menarik gerbong penumpang (pengunjung TMII).
Namun keadaan yang menyenangkan itu kini telah berubah 180 derajat. Saya tidak bisa lagi merasakan nikmatnya naik rangkaian kereta klasik seperti dulu. Kedua rangkaian KA itu kini telah dipensiunkan. Anak saya (3 tahun) hanya bisa menatap dan merengek minta naik, namun tidak bisa merasakan lagi sensasi perjalanannya.
Situasi di dalam area TMII juga semakin penuh sesak oleh kendaraan bermotor. Banyaknya kendaraan bermotor yang parkir dan berlalu-lalang itu membuat TMII seolah-olah seperti jalan Pinangsia, di kawasan perbelanjaan Glodok, Jakarta Barat. Pejalan kaki kesulitan melangkahkan kaki di pedestrian, karena jalur pejalan kaki dipakai untuk memarkir mobil juag sepeda motor. Pengunjung malas berjalan kaki untuk mengitari area TMII. Sejumlah fasilitas kendaraan keliling yang disediakan pengelola, tidak pernah digubris oleh pengunjung.
TMII kini juga semakin tak terawat. Hal ini bisa dilihat pada beberapa bangunan di bagian belakang (letaknya memang terpencil), misalnya: bangunan di dekat koleksi burung yang bagian atapnya telah roboh, bangunan museum Migas yang terlantar, daln lain-lain. Anjungan DIY yang saya kunjungi terlihat kusam dan kotor. Selain itu saya lihat banyak sekali pedagang yang berkeliaran di dalam area menjajakan minuman dan mainan anak-anak. Sejumlah orang menawarkan sepeda motor matic miliknya yang bisa disewa untuk mengelilingi area. Sungguh pemandangan yang memprihatinkan.
Beberapa bangunan sebenarnya tidak selaras dengan tema wisata budaya dan seni Taman Mini Indonesia, misalnya bangunan istana anak-anak ala Disneyland, kolam renang dengan ‘nama’ berbahasa asing (‘Snow Bay’), restoran cepat saja beridentitas Amerika, dan lain-lain. Kondisi ini tentu sangat bertentangan dengan kebiasaan pak Harto yang suka memberi nama apapun dengan identitas Indonesia (khususnya Jawa), misalnya kereta monorail yang diberi nama ‘Titian Samirono’. Mungkin pengelola TMII berkilah bahwa itu hanya sebagai pelengkap wisata, meskipun saya pribadi merasa ada kejanggalan tema..
Hal lain yang membuat penglihatan saya kurang nyaman adalah sampah plastik yang bertebaran di seluruh penjuru tempat, termasuk di kolam Archipelgo. Apalagi dengan datangnya musim hujan yang membuat kondisi lembab dan becek, maka sampah-sampah plastik itu semakin menambah jorok TMII. Seandainya para pengelola TMII dan pengunjung mencoba mengingat masa-masa awal berdirinya TMII, mungkin akan terngiang-ngiang pada peran TMII yang dijadikan etalase keanekaragaman Indoensia, khususnya oleh Ibu negara (Ibu Tien Suharto).
TMII pada masa lampau sering dikunjungi oleh Ibu Tien beserta istri pejabat atau istri tamu negara asing. Bisa dibayangkan pada waktu itu perawatannya pasti mendapat perhatian maksimal. Para pengunjung juga dipastikan akan sangat berhati-hati dan bersikap sopan. Lalu-lintas kendaraan juga sangat dibatasi dan diawasi dengan ketat. Aturan dengan ‘tangan besi’ ternyata bisa menempatkan TMII sebagai tujuan wisata seni dan budaya Nusantara dengan menempatkan unsure pendidikan sebagai tujuan utamanya. Para siswa dari seluruh pelosok kota di Jawa dipastikan akan mengagendakan kunjungan ke TMII, bila sekolahnya mengadakan studi tour ke Jakarta. Pendek kata ‘Taman Mini Indonesia Indah’ menjadi tujuan utama untuk belajar tentang Indonesia Mini.
Kini ‘kewibawaan dan keangkeran’ TMII hanya tinggal kenangan saja. Tak ada lagi acara-acara kenegaraan. Tak ada lagi kunjungan wajib para siswa SD dan SMP daerah ke sana. Tak ada lagi kenyamanan untuk berjalan kaki. TMII lama-kelamaan menjadi sama dengan tempat hiburan lain di Jakarta dan kota penggirannya. TMII semakin tidak sanggup membendung kesemrawutan para pengunjungnya dengan aturan tegas seperti jaman pak Harto.
8 Februari 2016.