Pukul 09.00, kendaraan saya tiba di jalur menjelang perempatan Ciawi. Namun tiba-tiba harus berhenti lama sebab jalur menuju ke Puncak baru saja mengalami 'penutupan' yang dilakukan oleh petugas polisi. Beberapa laki-laki memberi aba-aba agar keluar dari jalur jalan utama. Teman saya dalam satu mobil memberi penjelasan bahwa mereka menawarkan jasa bagi para pengemudi kendaraan pribadi untuk melewati jalan perkampungan, namun syaratnya harus memberikan 'ongkos jasa'.
Setelah sekitar satu setengah jam menunggu, akhirnya antrian mobil mulai bergerak. Dengan tergesa-gesa seluruh kendaraan berpacu ke arah Puncak atau ke Cipanas. Setelah beberapa tahun tidak melihat situasi jalur Puncak, kini saya kembali melihat suasana di kiri dan kanan jalur tersebut. Tidak ada pemandangan yang baru di tepi jalan Puncak. Suasana keramaiannya masih tetap sama dengan suasana ketika bus-bus jurusan Bandung - Jakarta masih menggunakan jalur Puncak sebagai rute trayeknya.
Menjelang perkebunan teh, suasana di sekitar jalan juga masih tetap sama. Deretan kios penjual minuman hangat dan makanan (sate kambing, sate kelinci, bakso), menutupi pandangan ke kebun teh. Kawasan Puncak memang mirip perkampungan padat. Semua aktivitas wisata terpusat di tepian jalan. Sebuah mesjid yang terletak di bukit kebun teh, persis di tepi jalan utama menjadi pemandangan unik bagi saya. Bangunan mesjid itu kelihatan 'aneh' karena seolah-olah muncul di tengah-tengah perkebunan. Kini mesjid itu telah menjadi 'ikon' Puncak. Siapapun yang piknik ke Puncak akan mencoba beristirahat di halaman mesjid itu.
Sesuatu yang menurut saya baru, adalah: deretan toko di wilayah Cisarua yang mencantumkan tulisan Arab di bagian depan (façade bangunan). Sejumlah laki-laki berkebangsaan Arab berjalan kaki di tepi jalan, sehingga memberi penegasan bahwa kawasan tersebut seakan-akan banyak didiami oleh masyarakat berkebangsaan Arab. Sebuah perpaduan unik antara perkampungan tradisional pribumi dan warga pendatang.
Kawasan Puncak kini penuh dipadati oleh beraneka ragam komoditi. Bahkan symbol partai politik juga ditempelkan di bagian teratas bukit perkebunan teh. Tulisan 'Gerindra' dalam ukuran besar terpampang jelas, mirip dengan tulisan 'Hollywood' diperbukitan kota Los Angeles, Amerika.
Patung-patung binatang Afrika yang berkumpul di pertigaan jalan menuju ke obyek wisata Taman Safari, meskipun tujuannya menjadi penanda, lebih mirip sebagai monument patung perjuangan. Mungkin memang apapun di negeri ini semua harus divisualisasikan dengan sejelas-jelasnya. Meskipun secara estetika akhirnya harus 'campur-aduk' dengan beragam papan nama toko atau restauran, spanduk iklan, baliho, dan sebagainya.
Kepala saya terasa pusing ketika mobil yang saya naiki berjalan menanjak dan berkelak-kelok di bukit perkebunan teh. Pada jalur sebelah kanan (berlawanan arah) ratusan mobil diam tertahan menunggu 'pembukaan' jalur sebagaimana yang saya alami sebelumnya. Beraneka jenis desain mobil tampak berdesakan menunggu 'ijin jalan' dari petugas polisi. Situasi kepadatan itu tidak pernah saya lihat ketika saya melewati Puncak pada tahun 1985 hingga tahun 1997, yaitu ketika saya masih kuliah di Bandung dan beberapa kali harus pergi ke Jakarta.
Akhirnya saya sampai dibelokan menuju ke Taman Hutan Raya Cibodas, pada pukul 13.00. Meskipun cuaca siang itu mendung namun jumlah pengunjung wisatawan sangat banyak. Saya masih dapat merasakan segarnya udara dan dinginnya suhu air di dalam lokasi taman. Suasana taman Cibodas serasa masih tetap sama dengan suasana ketika saya mengunjungi Cibodas pada tahun 1998. Suasana sepi, kolam dengan pancuran air, serta pepohonan besar menjadi saksi bisu perjalanan sejarah kawasan Cibodas dari waktu ke waktu.
[caption id="attachment_341116" align="alignnone" width="640" caption="Kolam ikan di Cibodas."][/caption]
[caption id="attachment_341117" align="alignnone" width="640" caption="Sepasang pengunjung berduaan di tepi kolam, di Cibodas."]
[/caption]
[caption id="attachment_341118" align="alignnone" width="640" caption="Taman dan Pancuran air, di Cibodas."]
[/caption]