Lihat ke Halaman Asli

Sigit kartono

Content creator / ketua bidang seni budaya dpi yayasan Pesanku

Kuda Lumping dan Lifestyle Kaum Marginal

Diperbarui: 2 Februari 2023   21:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jika di Ibukota ada fenomena Citayam Fashion Week yang semarak penuh ekspresi anak-anak muda asal daerah pinggiran Ibukota dengan percaya diri berlenggang bak model di zebra cross jalanan Jakarta, maka lain hal lagi dengan anak-anak muda di daerah selatan jawa, Banyumas. Banyumas yang secara geografis  berada di jalur selatan jawa, tentunya memiliki corak kebudayaan yang berbeda dengan daerah di utara jawa. Salah satu festival kebudayaan yang masih eksis hingga saat ini adalah Festival Kesenian Kuda Lumping.

Festival kesenian kuda lumping adalah pertunjukan yang sangat dinanti oleh masyarakat Banyumas lintas generasi, dari generasi milenial, generasi Z, hingga generasi alpha. Ada 1 segmen dalam Kesenian Kuda Lumping yang menjadi ikonik dan paling mencuri perhatian, yaitu segmen Janturan. Janturan adalah salah satu segmen dalam Kesenian Kuda Lumping yang menyuguhkan atraksi 'kerasukan' para pemain kuda lumping. Tidak hanya pemain yang mengalami janturan, namun banyak sekali penonton yang ikut terbawa janturan. Mereka yang mengalami jantur akan tidak sadarkan diri dan ketika sadar akan bertingkah seperti orang kesetanan karena kesurupan. Uniknya, dalam segmen ini tidak sedikit para penonton berusia 12-15 tahun yang terbawa 'jantur'. Segmen ini semakin menambah semarak riuh sorai para pemain dan penonton.

Dalam Seni Kuda Lumping terdiri dari 6 penari yang mengenakan kuda kepang atau eblek. Bagi para pemain kuda lumping, sebelum melakukan pertunjukan, mereka digembleng untuk menghafalkan gerak tarian kuda lumping dan selanjutnya mereka harus melakukan tirakat atau tapa brata. Tirakat atau tapa brata ini dilakukan pada sebuah tempat yang dianggap angker atau mistis dengan maksud agar si pemain ketika di ujung tarian atau segmen janturan, pemain dapat menari dengan sungguh-sungguh hingga lupa diri atau orang biasa menyebut " jantur atau kesurupan".

Makna tapa brata dalam kesenian adalah proses meditasi atau pendalaman rasa, adalah sebuah konsep hening dengan kesdaran tertinggi. Namun, makna ini bergeser menjadi anggapan bahwa konsep tapa brata yang dilakukan oleh para pemain kuda lumping adalah sebuah ritual kerja sama dengan bangsa jin atau makhluk halus agar merasuk dalam jiwa para pemain, sehingga ketika menari dapat menuntaskannya dengan baik ditambah dengan berbagai pertunjukan atraksi di luar nalar manusia, seperti terbang, memakan kaca, memakan bara api, dll.

Sebuah fenomena yang menarik, jika ditarik masa tahun 80 dan 90 an, Kesenian Kuda Lumping merupakan seni pertunjukan sakral yang hanya dipentaskan pada moment tertentu. Label sakral yang tersemat dalam Kesenian Kuda Lumping karena adanya elemen 'tirakat' atau 'tapa brata' yang dilakoni oleh para pemainnya dengan tujuan agar prosesi pertunjukan mendapat hasil yang memuaskan, tanpa kendala suatu apa, terlebih saat segmen janturan.

Anak-anak muda pada masa itu enggan terlibat dalam seni pertunjukan ini, dikarenakan segmen janturan yang dianggap memalukan, sehingga mereka memilih untuk tidak terlibat. Alhasil, pertunjukan Seni Kuda Lumping hanya diminati oleh orang-orang tua.

Namun fenomena hari ini, anak-anak muda terlihat begitu antusias menikmati dan turut serta meramaikan Seni Kuda Lumping. Mereka ternyata sangat menyukai segmen janturan walau bukan pemain kuda lumping. Anggapan keren dan gaul mulai tersemat bagi orang yang 'jantur', dan sekali lagi, meski bukan pemain kuda lumping. Anak-anak muda mulai dari usia SMP tumpah ruah memenuhi arena Seni Kuda Lumping hanya karena excited untuk terlibat jantur bercampur dengan para pemain Kuda Lumping lainnya. Mereka yang bukan pemain kuda lumping, berhasil jantur dikarenakan memiliki indang sehingga akan cakap dalam gerak gerik tarian Kuda Lumping. Indang adalah ilmu joget yang melibatkan jin atau makhluk halus yang umumnya didapat melalui tirakat atau tapa brata, namun bagi anak-anak muda ini mereka melewatkan sesi tirakat dan dengan mudah mendapatkannya dari proses transaksi atau hasil jual beli dengan dukun/pawang 'ebeg'(sebutan kuda lumping). Dukun/pawang ebeg adalah sebutan bagi seorang ahli spiritual Kuda Lumping yang bertugas sebagai penanggung jawab pertunjukan Kuda Lumping dari awal hingga akhir, juga sebagai 'tabib' bagi para pemain Kuda Lumping termasuk ketika segmen jantur.

Fenomena ini dapat dianggap kemajuan atau malah sebuah degredasi nilai budaya?

Satu sisi dianggap sebagai sebuah kemajuan, dimana seni tradisi bisa disukai oleh anak-anak muda yang terbukti dengan keterlibatan secara aktif anak-anak muda di dalam seni pertunjukan Kuda Lumping. Namun di sisi lain, ada kemerosotan nilai dari seni tradisi itu sendiri, dimana anak-anak muda memandang kesenian kuda lumping hanya sebatas hiburan semata dan menghilangkan esensi dan nilai-nilai dari sebuah perjalanan seni tradisi Kuda Lumping.

Sampai saat ini, Seni Kuda Lumping dengan janturannya masih menjadi sebuah perdebatan; antara  kesurupan jin atau sebuah totalitas dalam berkesenian.

Apapun itu, seni tradisi tetap menjadi sebuah seni yang misteri; sebuah karya pertunjukan seniman zaman dahulu yang harus terus digali dan diselami maknanya yang tersembunyi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline