Lihat ke Halaman Asli

Sigit Nugroho

Peminat Sejarah

[Cerpen] Tertinggal

Diperbarui: 29 September 2016   19:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah hilang dari ingatanku, entah berapa lama aku pelihara perasaan yang bercokol erat mengakar di sanubari ini tanpa tahu kelanjutan nasibnya. Orang yang dituju pun kelihatannya tak pernah peduli, meski aku yakin bahwa dia tahu kebenarannya. Aku yakin ia menyadarinya. Hanya saja, ada tameng yang ia kenakan di hatinya untuk memantulkan cahayaku, hingga tak pernah bisa menembus dinding hatinya layaknya sinar menembus prisma dan berbelok ke inti nuraninya. Aku yakin, haqqul yakin, ia pun sebenarnya merasakannya. Hanya saja ia tetap tak mau peduli. Tak acuh. Cuek. Rasanya sulit sekali meyakinkannya untuk mau membalas cinta yang telah mengakar ini.

Aku berdiri menyandang tas berisi laptop tercintaku dan melihatnya berdiri dengan jarak sekian meter di depanku, melihati tulisan-tulisan yang bertengger di papan pengumuman yang telah usang di gedung Fakultas ini. Gadis berjilbab itu terlihat ayu hari ini. Pesona lahiriahnya menampilkan keanggunan batinnya yang membuatku kagum bertahun-tahun. Sudah banyak lelaki mengincarnya dan ia tak sekali pun bergeming. Aku sendiri bahkan sampai menjamur hanya untuk menunggu balasan cinta darinya.

Bukan sekali atau dua kali aku dipaksa menelan pil pahit karena risiko mencintainya. Cinta yang bertepuk sebelah tangan tak jarang menggerus perasaanku hingga hancur jadi serpihan. Tak kadang pula menimbulkan keruntuhan pada semangat hidupku, mematikan akalku, bahkan seakan hendak membunuhku pelan-pelan. Wanita itu selalu tak acuh pada apa yang kuperbuat untuknya. Aku tak tahu apakah ia sendiri punya maksud demikian atau tidak. Tapi barangkali karena sudah terbiasa begitu, ia jadi tak pernah peduli bahwa apa yang ia lakukan seringkali melukaiku. Akulah yang selalu mesti menanggung akibatnya.

Kami berteman sudah lama sekali. Aku selalu menyingkirkan kepentingan perasaanku demi kenyamanan kami. Alasan kedua, aku belum siap untuk hal bernama cinta. Itu membuatku mengalihkan perhatianku pada kuliah yang kutempuh yang akhirnya selesai dengan cemerlang ini.

***

Aku lulus dengan hasil memuaskan. Cum laude. Skripsiku diterima dengan gilang gemilang oleh para dosen penguji, dianggap berpotensi melahirkan teori baru. Aku bersyukur. Segala jerih payah dan perjuanganku teriring doa dan semangat yang membara telah mengantarkanku meraih titel sarjana. Meskipun demikian, aku tak begitu peduli pada gelar. Aku merasa kerongkongan di otakku masih haus akan ilmu. Kini, sebuah proposal riset S2 yang konsepnya sebagian besar masih berdasar pada skripsiku ini telah dianggap fixed oleh promotorku dan aku pun siap melanjutkan perjuangan berburu ilmu setinggi mungkin untuk kudedikasikan pada negeriku.

Betul, dalam hal prestasi akademik maupun berorganisasi di kampus aku telah mereguk kesuksesan. Victory.Pun dengan pekerjaan sebagai tenaga pengajar di sebuah lembaga kursus yang telah kujalani beberapa tahun terakhir ini. Mimpiku berikutnya adalah melanjutkan studi ke Universitas Oxford di negeri John Bull alias Inggris Raya. Dan, mimpi itu kini telah ada dalam genggamanku. Aku mendapatkan beasiswa Uni Eropa untuk melanjutkan pendidikan di sana bidang studi humaniora, Faculty of English and Literature.

Paspor, visa, biaya hidup, tuition fee, life insurance, semua sudah kugenggam. Sekarang ini aku bahkan hanya tinggal menanti jadwal keberangkatanku ke Inggris. Pihak penyedia beasiswa akan memberitahukannya dalam beberapa hari ini. Semuanya terasa begitu mudah.

Sayang, nasibku tak semujur itu dalam hal cinta. Buktinya, sudah sekian lama aku berjuang mati-matian meyakinkan gadis dambaanku itu, tapi sedikit pun ia tak bergeming. Hatinya terlalu cadas layaknya tembok Cina, sedangkan aku hanyalah sebuah battering ram, alat penggempur benteng pada medieval period yang berukuran kecil dan teramat rapuh sekaligus mudah remuk.

***

Aku masih berdiri mematung menatapnya dari kejauhan. Rasanya aku tak ingin buru-buru terbang ke Inggris. Aku masih ingin di sini, stay with her. Sayang sekali, ia kelihatannya tak mengharapkan keberadaanku. Sama sekali tidak. Ia bahkan sepertinya ingin diriku enyah dari hadapannya, jauh dari mata indahnya. Seakan ia ingin mengusirku bulat-bulat, jauh dari hidupnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline