Lihat ke Halaman Asli

Hadi Purnomo dan Institusi Pajak Sekarang

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penetapan Mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Hadi Purnomo (HP), sebagai tersangka oleh KPK pada Senin, 21 April 2014 sungguh mengejutkan. HP yang oleh rekan dekatnya di panggil Pung,  saya kira tidak menduga akan terjerat KPK karena kasus yang terjadi 10 tahun yang lalu sewaktu masih menjabat Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak tahun 2002-2004. Masa pensiun yang seharusnya dinikmati bersama keluarga terancam musnah karena ancaman 20 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar telah menunggu.

Sebagaimana banyak diberitakan di media massa, HP dijerat kasus atas dikabulkannya keberatan pajak Bank Central Asia (BCA) atas tagihan pajak tahun 1999. BCA saat itu mengajukan keberatan pajak karena kinerja BCA terganggu akibat krisis moneter yang menyebabkan kredit macet Rp 5,7 triliun. Bank lain yang mengajukan keberatan sejenis telah ditolak oleh Direktur PPh dan keberatan BCA sebenarnya juga ditolak oleh Direktur PPh, tetapi HP menerbitkan nota dinas kepada Direktur PPh untuk mengabulkan seluruh keberatan BCA. Akibat keputusan tersebut, BCA tidak menyetor pajak ke kas negara sebesar Rp 375 miliar.

Saya tidak akan beropini mengenai dugaan konspirasi yang berkembang atas penetapan tersangka terhadap HP karena keberanian HP membongkar kasus century atau pertanyaan mengapa kasus tersebut baru terungkap (atau diungkapkan) sekarang saat HP sudah lengser sebagai ketua BPK. Saya hanya ingin menyoroti Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai institusi yang pernah dipimpin HP.

Pemberitaan negatif terhadap DJP seakan terus berlanjut. Semuanya diawali dari kasus rekening gendut Gayus Tambunan, salah seorang pegawai DJP yang tidak sesuai dengan profilnya sebagai pegawai negeri. Gayus menimbun pundi-pundi uangnya dari kongkalikong dengan wajib pajak dalam kasus keberatan pajak. Bahkan saking populernya Gayus saat itu, masyarakat sering memanggil pegawai pajak dengan julukan Gayus. Kondektur Kopaja atau Metromini pun tidak ketinggalan menyebut "Gayus" begitu lewat halte depan kantor pusat pajak di Jalan Gatot Subroto, Jakarta.  Berikutnya, beberapa pegawai pajak juga tertangkap tangan kasus suap, seperti Tommy Hendratno, Anggrah Suryo, atau Pargono Riyadi. Saya mengamati, setiap ada  penangkapan pegawai pajak pasti menjadi pemberitaan heboh. Seolah-olah penangkapan pegawai pajak menjadi berita seksi yang pasti ditunggu masyarakat. Berbagai penangkapan pegawai pajak seolah-olah menjadi pembenaran kalau institusi pajak sarang korupsi. Sudah menjadi stigma di masyarakat bahwa pegawai pajak pasti kaya raya, pegawai pajak gampang di suap, pegawai pajak suka memeras wajib pajak,  dan pandangan negatif lainnya. Saya pun dulu berpikiran begitu. Apalagi melihat betapa kayanya tetangga saya di Solo yang kebetulan bekerja di kantor pajak. Rumah dimana-mana dan garasi sudah tidak muat mobil. Penetapan tersangka HP yang kebetulan mantan Dirjen pajak bisa saja menambah pandangan negatif masyarakat terhadap institusi pajak. Masyarakat bisa saja berpikiran kalau pimpinan kantor pajak saja korupsi, apalagi anak buah atau bawahannya.

Mungkin, dulu sebagian besar pegawai pajak dalam bekerja tidak berorientasi untuk melayani wajib pajak. Dulu, pegawai pajak bisa saja hanya berlomba-lomba untuk menimbun uang untuk kepentingan pribadi, mudah disuap dan suka memeras wajib pajak. Mungkin hanya segelintir pagawai pajak yang masih memegang idealisme untuk melayani wajib pajak dengan baik dan bekerja keras untuk mengumpulkan penerimaan pajak. Survei Transparency International Indonesia tahun 2004 menyebutkan kalau instansi pajak bersama dengan partai politi, DPR, lembaga peradilan (kejaksaan & pengadilan), bea cukai, serta kepolisian merupakan lembaga yang sangat korup menurut persepsi masyarakat sumber

Untunglah, pemerintah sadar kalau pajak adalah sumber utama pendapatan negara. Seiring dengan menipisnya cadangan minyak bumi dan hasil tambang lain sebagai sumber APBN yang utama, pemerintah mulai berusaha untuk mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam pembiayaan negara melalui pajak. Maka pada tahun 2007, pemerintah melalui Kementerian Keuangan yang saat itu, menterinya dijabat Sri Mulyani, menjalankan reformasi birokrasi di kementerian keuangan. Reformasi di kementerian keuangan ini merupakan proyek percontohan untuk reformasi birokrasi di lembaga pemerintah. Saat ini, hampir seluruh kementerian telah melaksanakan reformasi birokrasi. DJP sebagai bagian dari Kementerian Keuangan tidak luput dari program reformasi birokrasi, atau yang juga dikenal dengan modernisasi perpajakan. Saat itu, Dirjen Pajak dijabat oleh Darmin Nasution yang menggantikan Hadi Purnomo.

Melalui modernisasi perpajakan, dilakukan reformasi terhadap proses bisnis, teknologi informasi, struktur organisasi dan mental aparatur pajak.  Peleburan Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan menjadi satu kantor modern dengan tujuan untuk memudahkan masyarakat wajib pajak mengurus kewajiban pajaknya. Wajib Pajak dapat mengurus semua jenis pajak di satu tempat saja, tidak terpencar seperti waktu dulu. Setiap wajib pajak mempunyai konsultan pajak pribadi di kantor pajak yang dinamakan account representative yang siap melayani wajib pajak, dan tentu saja tanpa bayaran alias gratis. Sistem teknologi pun diterapkan dalam administrasi perpajakan, seperti pendaftaran NPWP online. Terbaru, masyarakat bisa melaporkan SPT nya melalui internet dengan sistem e-filling. Kalau saya baca di media massa, dalam pembayaran pajak, sebenarnya masyarakat tidak perlu khawatir uangnya ditilep aparat pajak karena uangnya langsung masuk kas negara. Pegawai pajak bahkan sama sekali tidak pegang uang yang dibayarkan wajib pajak sebagaimana anggapan masyarakat selama ini.

Untuk membenahi mental aparat pajak, DJP sudah menerapkan remunerasi yang bahkan membuat iri pegawai negeri instansi lainnya (termasuk saya yang PNS di daerah...hehe). Penerapan remunerasi tersebut diimbangi dengan penerapan kode etik yang berisi perintah dan larangan bagi pegawai pajak. Dari berita, sebenarnya sudah banyak pegawai pajak yang dipecat karena melanggar kode etik. Dari total pegawai pajak 31 ribu-an, tidak mungkin mengharapkan semuanya bersih. Pasti ada segelintir oknum yang "bermain", baik memeras maupun menerima suap wajib pajak. Pimpinan DJP pun sudah berjanji untuk melakukan penegakan hukum bagi aparatnya yang melakukan tindakan melanggar hukum. DJP akan konsisten  memperbaiki mental dan moral aparatnya. sumber

Kesimpulannya, DJP kelihatannya telah berubah jauh lebih baik. Survei integritas sektor publik tahun 2011, DJP mendapat nilai yang sangat tinggi sumber.  Kita harus ingat, beban DJP dalam menghimpun penerimaan negara sangat berat karena tahun ini saja, mereka dibebani harus mengumpulkan uang  lebih Rp 1.000 triliun atau Rp 1.110,2 triliun atau hampir 66,7% dari APBN kita sebesar Rp 1.667 triliun sumber.

Mari kita dukung institusi pajak dalam menghimpun pajak yang begitu besar. Jangan menghujat institusi pajak kalau diri sendiri belum menjadi wajib pajak yang baik. Mari kita lunasi pajaknya, awasi penggunaanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline