Lihat ke Halaman Asli

Wikileaks, Tidak Ada Rahasia di Antara Kita

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12919522501598226421

[caption id="attachment_79325" align="alignright" width="284" caption="Ilustrasi dari http://pauldavisoncrime.blogspot.com"][/caption] WikiLeaks memang fenomenal. Situs web yang didirikan oleh Julian Assange-hacker asal Australia dan berbasis di Swedia-ini membuat berang pemerintah Amerika Serikat. Pasalnya, Wikileaks membocorkan dokumen-dokumen rahasia negara dan 251.187 memo diplomatik kedutaan AS di seluruh dunia. Pemerintah Indonesia pun mulai ikutan was-was. Ada isu bahwa ada 3.000 dokumen rahasia terkait Indonesia yang siap dibocorkan. (bdk. Kompas.com) Kawasan Arab juga dibuat heboh olehnya. Ada dokumen yang membongkar hubungan rahasia antara Arab dan Israel. Para intelijen Arab telah tukar menukar info dengan Israel soal Iran. Sebelumnya, Wikileaks pernah membocorkan dokumen rahasia tentang Perang Afganistan dan Perang Irak. Banyak pihak yang mengklaim penyebab kebocoran dokumen rahasia itu lantaran sistem keamanan intelijen AS yang lemah. Sistem intelijen lemah ini nampak sejak Tragedi 11 September. Wilileaks dituduh pemerintah AS sebagai aksi untuk menjatuhkan wibawa AS dan membuat kekacauan dunia. Julian Assange ditangkap. Beberapa akses terkait Wikileaks juga diblokir, seperti PayPal, Mastercard. Bahkan, Facebook dan Twitter pun segera menutup akun para pendukung Wikileaks ini. Gedung Putih memerintahkan semua komputer karyawan instansi negara diblok dari akses Wikileaks. Situs Wikileaks ditutup, tapi muncul lagi berkat para simpatisan dengan ratusan "mirror domains". Tapi, Wikileaks bak virus yang tidak bisa dihentikan dan dimatikan. Dokumen-dokumen itu sudah terlanjur tersebar. Para pendukung dan simpatisan dari berbagai belahan dunia semakin besar. Wikileaks seperti mendapat angin ketika ia didukung oleh lima media massa besar dunia-Le Monde, El Pais, The Guardian, The New York Times, dan Der Spiegel. Menelanjangi Rezim Kebohongan Kasus Wikileaks semakin menegaskan saja bahwa internet benar-benar mengubah banyak lini kehidupan kita. Terjadi perubahan kekuatan teknologi, perubahan kekuatan politik dan legal, perubahan kekuatan ekonomi, perubahan kekuatan sosial budaya, maupun perubahan kekuatan pasar. Era internet-atau yang digaungkan oleh MarkPlus sebagai Era New Wave-ini menciptakan horizontalisasi, demokratisasi, dan transparansi di segala bidang. Sepertinya tidak ada lagi tempat kita untuk bersembunyi. Mungkin, seandainya Wikileaks hidup di dekade lalu mungkin tidak akan seheboh ini. Dan, pembocoran rahasia ini pun bukan satu-satunya dan bukan yang pertama kali terjadi. Kasus Wikileaks sangat menarik dikupas lantaran pengaruhnya pada relasi-relasi politik antarnegara-khususnya dengan Amerika Serikat. Dokumen-dokumen tersebut sebagian menelanjangi kebohongan-kebohongan AS dan para pemimpin negara. Seandainya benar, dokumen itu secara tidak langsung sebagai bentuk pelurusan sejarah-sejarah kebohongan yang selama ini diciptakan penguasa (baca: AS dan para pemimpin negara). Di era sebelumnya-era Vertikal maupun Legacy-sejarah boleh diklaim sebagai milik penguasa. Maklum, sejarah-sejarah yang ditulis selama ini tak lain adalah sejarah versi penguasa dan demi kepentingan kekuasaan. Sejarah tentang Peristiwa 1965 menjadi salah satu contoh penyesatan sejarah Tanah Air yang dilakukan oleh Penguasa (Diktaktor Soeharto). Namun, di era New Wave ini, semua orang bisa menulis sejarahnya. Termasuk orang yang dalam dunia citizen-dalam sistem negara-dia tidak mempunyai kekuasaan apa pun. Tidak hanya itu, semua orang bisa saling mengkoreksi sejarah satu sama lain. Sejarah tidak lagi menjadi sesuatu yang monolitik tapi sebuah dialog dengan multinarasumber. Kebenaran tidak lagi tunggal milik penguasa. Wikileaks menjadi penanda telah terjadi menurut istilah saya "dehistorisasi"- sebuah dekonstruksi sejarah. Khususnya, sejarah konspirasi di balik meja antarpenguasa pada masa lalu. Tren penelanjangan sejarah (dehistorisasi) ini, saya meyakini, akan terus terjadi sampai suatu saat kita bisa berkata pada diri kita sendiri bahwa selama ini kita hidup dalam kebohongan. Mirip yang ditandaskan Julian Assange kepada The Guardian bahwa pembocoran rahasia tidak bisa dihentikan dan sejarah akan menang. Kebocoran dokumen rahasia melalui "kran" Wikileaks ini tentu saja membuat banyak negara berpikir ulang. Versi "lain" tulisan ini ada di http://the-marketeers.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline