Lihat ke Halaman Asli

Wartawan Malas Verifikasi

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

[caption id="attachment_117315" align="alignleft" width="260" caption="Sumber: http://www.phillyburbs.com"][/caption] Geger kasus Raya berakar pada malasnya wartawan melakukan verifikasi. Padahal, verifikasi adalah esensi jurnalisme. BILL KOVACH dan Tom Rosenstiel dalam bukunya The Elements of Journalism menandaskan bahwa esensi  jurnalisme adalah disiplin melakukan verifikasi. Tapi, dalam praktiknya, aktivitas melakukan verifikasi bukanlah pekerjaan gampang. Problemnya bukan terletak pada realitas kasus atau info  itu yang susah diverifikasi atau tidak. Melainkan, pada kemalasan para wartawan melalukan verifikasi tersebut. Jamak kita jumpai berita-berita heboh yang karena tidak ada verifikasi ternyata berujung pada berita bohong belaka. Tadi malam (25/03), saya membaca berita di portal Detik. Di situ, diberitakan Raya Surtiana Rusidi mensomasi TVOne gara-gara menampilkan fotonya di acara Kabar Petang-tepatnya di akhir pemberitaaan Soraya Abdullah Balvas, istri M Jibril, sosok yang dicap teroris itu. Tak hanya di TVOne, foto Raya Surtiana juga muncul diberbagai media internet dan media cetak dalam kaitannya dengan berita seputar terorisme. Saya tak tahu persis media mana yang pertama kali menampilkan foto warga Bandung dan putri mantan diplomat di Yugoslavia tersebut. Yang jelas, penayangan foto salah itu telah menyisakan korban dan kerugian di pihak Raya. Detik mengatakan Raya sudah terkena cekal untuk menyambangi beberapa negara, salah satunya Brunei Darussalam. Produser Arab Saudi juga batal mengajak Raya untuk bermain film lagi mengingat dirinya dikaitkan dengan jaringan teroris itu. Tapi, sebenarnya, bukan Raya saja yang dirugikan. Seluruh pemirsa televisi, pembaca koran, internet, dan majalah pun dirugikan. Tak berlebihan juga bila menyebut media-media tersebut telah melakukan "Pembohongan Publik." Sebab itu, publik pun berhak mensomasi penyebar kebohongan itu. Saya heran kenapa ada banyak media menampilkan foto yang nyata salah itu. Disiplin melakukan verifikasi tidak dilakukan. Kemungkinan besar, antarmedia melakukan copypaste tanpa menguji kebenarannya. Bukan rahasia lagi kalau di lapangan, para wartawan ada yang senang bergerombol untuk saling bertukar contekan berita. Akibatnya, berita yang dilansir pun nyaris seragam-bahkan sampai ke kalimat-kalimat pemberitaannya. Apesnya bila yang dicontek adalah informasi yang salah. Semua media pun akan menyiarkan berita yang salah juga. Saya tak tahu persis mengapa media enggan melakukan verifikasi-terlepas dari intrik media bersangkutan. Apakah mentalitas para wartawan sekarang ini kurang tergembleng untuk menurunkan berita sesuai dengan pagar jurnalisme. Berdasarkan pengamatan saya belakangan ini-pengamatan saya bisa salah bisa benar-beberapa media cenderung menyajikan informasi bak sinetron. Informasinya patah-patah, beraksen sensasional, dramatik-tak jarang melodramatik dan tanpa isi. Persaingan antarmedia dalam menyiarkan berita paling cepat kadang tersandung pada asal menyiarkan dan minus verifikasi. Hal ini tak jarang dilakukan media televisi dan online. Wartawan suka mengutip ucapan orang tanpa melakukan verifikasi apa yang diomongkan. Padahal, sikap curiga dan ingin tahu (curiousity) sebaiknya melekat pada diri mereka yang menamakan dirinya wartawan. Masih hangat dalam ingatan publik bagaimana dua televisi swasta-TV One dan MetroTV-dalam drama penyergapan teroris di Temanggung hanya menuai hujatan. Stasiun televisi yang menayangkan detik demi detik proses penyergapan pada 8 Agustus 2009 itu menyatakan bahwa yang tewas tertembak oleh timah panas Densus 88 adalah Noordin M Top. Entah dari mana media itu dengan percaya diri menyatakan informasi itu. Para pemirsa pun ‘dibombardir' dengan asumsi wartawan di lapangan. Sampai akhirnya, uji DNA membuktikan bahwa orang yang tewas di Temanggung bukanlah Noordin M Top. Inilah tontonan paling vulgar (baca: paling memuakkan) bagaimana media bekerja tanpa disiplin verifikasi dan investigasi serta berujung pada pembohongan publik. Belum lagi dengan turunnya kualitas jurnalistik-khususnya disiplin verifikasi-lantaran bayang-bayang komersialisasi media. Media lebih memihak kepentingan para pemilik modal ketimbang pada publik. Akibatnya, bila pemilik modal atas sebuah media sedang terkena kasus, pemberitaan media itu akan hambar-hambar saja dan bahkan lebih menjadi corong cuci tangan para pemilik modal. Contohnya, TVOne yang dimiliki Bakrie dalam pemberitaan soal tragedi lumpur Lapindo. Ignatius Haryanto, Direktur Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), seperti diberitakan Kompas.com menandaskan fenomena komersialisasi industri media dan terkonsentrasinya perusahaan media di tangan beberapa gelintir pengusaha akan berdampak pada penurunan kualitas jurnalistik. Akibatnya, kepentingan publik untuk mengetahui informasi terabaikan. Akhirnya, disiplin verifikasi tetap wajib ditegakkan oleh para wartawan. Kovach dan Rosentiel - seperti ditulis Andreas Harsono-menyuguhkan lima disiplin dalam verifikasi. Kelimanya antara lain wartawan tidak boleh menambah atau mengarang apa pun, tidak menipu dan menyesatkan pembaca/pemirsa, wartawan bersikap setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi dalam peliputan, mengandalkan peliputan wartawan sendiri, dan bersikap rendah hati. Sumber: http://katakataku.com (tempayan air kata-kata)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline