Satu fenomena yang sering terjadi ketika pergantian pejabat Kementerian khususnya Pendidikan adalah kegelisahan dan kegamangan akan turut sertanya berganti kurikulum.
Berdasarkan fakta sejarah, setidaknya sudah pernah terjadi beberapa kali pergantian kurikulum di Indonesia, mulai dari Kurikulum 1947 (Rentjana Pelajaran), Kurikulum 1952 (Rentjana Pelajaran Terurai), Kurikulum 1964 (Rentjana Pendidikan), Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994 (Suplemen 1999), Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, Kurikulum 2013, dan Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM).
Di satu sisi, pergantian kurikulum memang membawa banyak konsekuensi, baik bagi sekolah sebagai institusi maupun bagi guru sebagai ujung tombak implementasi kurikulum dalam kegiatan belajar mengajar di kelas.
Mempelajari dan menguasai tuntutan kurikulum membutuhkan waktu yang tidak sebentar, belum lagi menemukan cara dan strategi yang tepat dalam penyiapan materi ajar dan penyampaian pembelajaran kepada peserta didik.
Ketika sudah mulai menemukan ritme yang cocok dan mulai terbangun pola belajar yang kondusif, tidak terasa periode pergantian menteri harus terjadi. Pergantian itu tentu saja memberi ruang perubahan, setidaknya pada nama kurikulumnya, meskipun mungkin tidak akan menyasar keseluruhan substansi yang termuat di dalamnya.
Di sisi lain, cara memandang perubahan kurikulum juga dapat dimaknai secara lebih realistis dan optimis. Filosofi dasar perubahan sebagai sebuah keniscayaan dapat digunakan sebagai titik pijak melihat perubahan kurikulum dengan lebih bijak.
Ketika jaman berubah, karakteristik peserta didik pun turut berubah, tuntutan kebutuhan juga mengalami perubahan, output pendidikan yang relevan dan kontekstual tentu saja menjadi konsekuensi yang tidak bisa ditawar-tawar. Perubahan kurikulum menjadi salah satu cara untuk menyesuaikan dan memenuhi tuntutan perkembangan jaman dengan berbagai dampak dan konsekuensinya.
Setiap periode atau jaman, memiliki konteks dan kebutuhannya, pun menghadirkan persoalan sekaligus tantangan dan peluang dalam perubahan dan pengembangan kurikulum. Seperti yang terjadi ketika memasuki periode abad-21 di mana dunia pendidikan dihebohkan, bukan karena kehebatan dan prestasi yang diraih, tetapi karena munculnya kesadaran akan bahaya keterbelakangan dan krisis pendidikan (Sugiyono dkk, 2020).
Ketersadaran akan kondisi pendidikan yang "sedang tidak baik-baik saja" itu bukan tanpa sebab. Abad-21 yang ditandai dengan globalisasi, kemajuan teknologi, koneksitas tanpa batas, dan realitas disrupsi di berbagai bidang membuka kesadaran baru bahwa Indonesia bukanlah entitas tunggal yang berdiri sendiri. Sebagai sebuah bangsa, Indonesia mau tidak mau tersandingkan dan terbandingkan dengan negara-negara lain di sekitarnya, bahkan di dunia yang begitu luas.
Dalam konteks itulah, kesadaran akan mutu/kualitas penduduk Indonesia, termasuk dalam hal pendidikan, ikut serta diukur dan dinilai dalam kolektivitas, contohnya adalah pengukuran kualitas penduduk Indonesia berdasar Human Development Index 2012 berada di urutan 121 dari 187 negara.
Kesadaran kolektif itu juga mempengaruhi cara pandang kita terhadap sumber daya yang dimiliki, dibandingkan dengan negara lain, salah satunya berkaitan dengan bonus demografi.