Lihat ke Halaman Asli

Sigit Kristiantoro

Kepala Divisi Pendidikan Yayasan Tarakanita

Membudaya Bisu

Diperbarui: 10 Maret 2016   10:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Senang bukan kepalang ketika salah satu teman semasa kuliah dulu berkunjung ke rumah setelah cukup lama waktu tidak bertemu. Dan lebih menyenangkan lagi ketika kedatangannya membawa segudang cerita pengalamannya berkecimpung di sebuah lembaga penyelenggara pendidikan dasar Sanggar Anak Alam (SALAM). Kisah-kisah menarik itu rupanya yang kemudian dikisahkan dengan sangat baik dalam sebuah buku yang juga dibawanya berjudul “Sekolah Biasa Saja” karya Toto Rahardjo. Kesan pertama ketika berbagi cerita, secara substantif peran dan fungsi pendidikan pada hakikatnya sama, perbedaannya mulai tampak ketika sampai pada tataran implementasi.

Dr. Sylvia Tiwon, pengajar di University of California, Barkeley memberikan prolog yang sangat inspiratif, lagi-lagi karena sangat dekat dan kontekstual dengan kehidupan kita saat ini. Dalam prolognya, Dr. Sylvia mengangkat fenomena “budaya bisu” di tengah-tengah semakin ramainya semesta karena kemajuan dan perkembangan teknologi informasi. Lihat saja, media sosial menjadi salah satu gejala paling kelihatan yang menampakkan wajahnya melalui berbagai fitur digital berbasis internet. Media-media itu memberi ruang bagi para penggunanya untuk saling menyapa, berbagi informasi, berdiskusi, bahkan membentuk kelompok-kelompok dunia maya yang beranekaragam.

Eksresi dan kreasi seolah mendapatkan tempat yang paling nyaman, kesamaan kepentingan dan kolaborasi berbagai kebutuhan bertemu menjadi satu dalam jaringan. Semakin banyak orang berkesempatan untuk mengeksplorasi dirinya, pengetahuannya, situasi dan kondisinya, masalah-masalahnya, keinginan dan harapannya, atau juga produk-produk jualannya. Slogan-slogan bernada humanis menjadi trend status yang hangat, meski tak jarang sebagian besar darinya adalah pengulangan-pengulangan yang disesuaikan. Penjelajahan imajinasi yang sulit dihentikan, semata-mata karena media sosial memang tak mengenal batas, bahkan memberi ruang kebebasan yang juga tak terhingga.

Keluasan jangkauan media sosial berpengaruh pada terbentuknya pola-pola relasi, meski sejatinya masih dalam ranah Quantity, dalam istilah Dr. Sylvia masih berorientasi pada massa pengikut alias follower. Konsep friend dalam facebook misalnya, terlepas dari kedekatan dan intimasi masing-masing usernya, toh masih tetap bermuatan kuantitatif yang tidak jauh berbeda dengan mengumpulkan sebanyak mungkin orang (meskipun dalam facebook jumlah “teman” dibatasi tidak lebih dari 5000). Semakin banyak teman, semakin ramai diskusi dan curhatan aksara, meski tetap saja membisu tanpa suara.

Entah sebuah kemajuan atau kemunduran, yang dalam banyak epik dikisahkan mengenai manusia sebagai mahkluk telanjang dan bisu, berbunyi tetapi tidak berbahasa. Pelajaran bahasa hanya mungkin diberikan oleh para Dewa dalam bentuk aturan-aturan jadi, hanya mungkin untuk ditiru (manusia menjadi peniru). Bahasa, kemampuan manusia untuk memahami dunianya, mengartikan relasi sosial dan membangun pengetahuannya, hanya mungkin datang dari atas. Manusia tidak mampu berdaya cipta, semata-mata karena hidup dalam keterbelengguan dan ketakmerdekaan, dan inilah rupanya embrio penindasan dalam konteks pendidikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline