Lihat ke Halaman Asli

Sigit Budi

TERVERIFIKASI

Content Creator

Filosofi di Balik Wacana Pemindahan Ibu Kota

Diperbarui: 11 Juli 2019   02:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemindahan ibukota bukan wacana baru bagi bangsa Indonesia, sejak era Presiden Soekarno dilanjutkan Soeharto telah merilisnya. Dua Presiden RI tersebut juga sudah menunjuk lokasi baru calon ibukota RI, Soekarno memilih di Palangkaraya dan Soeharto di Jonggol Jawa Barat. Sayang kedua Presiden tersebut tak bisa merealisasikan sampai  turun jabatan. Kali ini Presiden ke-7, Joko Widodo kembali mengulang gagasan tersebut dan melemparkan rencana tersebut ke publik. 

Berbagai tanggapan bermunculan antara pertanyaan apakah kita perlu memindahkan Jakarta ke luar Jawa atau di Jawa, bagaimana pembiayaan apakah menggunakan APBN atau tidak, butuh berapa lama proses pembangunan kota baru tersebut. 

Tanggapan itu wajar mengingat hajat ini baru pertama kali dilakukan dan semoga kali ini bukan lagi wacana semata. Presiden Joko Widodo sendiri beberapa waktu lalu telah keliling Pulau Kalimantan untuk meninjau calon ibu kota, kabarnya Kalimantan Tengah menjadi kandidat utama lokasi ibukota RI di masa. 

Publik bertanya - tanya bagaimana pembiayaan pembangunan kota baru tersebut mengingat proyek tersebut menelan biaya tidak sedikit dan memakan waktu lama. Bisa jadi sampai akhir masa pemerintahan Joko Widodo dan Kyai Maruf Amien proyek pemindahan ibukota belum selesai pembangunan fisiknya. 

Tentu menjadi pekerjaan rumah bagi presiden berikutnya apakah mampu melanjutkannya. Bisa dikatakan proses pemindahan ibukota butuh stamina panjang. Berkaca dari pengalaman negara Brasil ketika memindahkan ibu kota dari Rio de Janeiro ke kota Brasilia, menurut Duta Besar Brasil untuk Indonesia Ruben Barbosa pada acara "Diskusi Media FMB 9" bertema "Pemindahan Ibu Kota Negara: Belajar dari Pengalaman dari Negara Sahabat" di Kantor Bappenas 10 Juli 2019" prosesnya menghabiskan waktu sekitar 17 tahun. 

Dalam hal ini mulai proses perencanan sampai dengan operasional ibu kota baru tersebut secara penuh.

Mengapa Jakarta harus pindah? Ini pertanyaan menarik seperti juga yang ada dalam pikiran saya, apakah hanya alasan praktis agar Jakarta tidak macet atau ada alasan signifikan lainnya? Bambang Brodjonegoro pada kesempatan sama membeberkan filosofinya yaitu kita ingin ibu kota baru yang Indonesia-sentris, memicu pertumbuhan ekonomi, dan mendorong pemerataan pembangunan. 

Ibu kota baru harus didesain dan dipikirkan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebuah pernyataan yang menggugah semangat nasionalisme dan mengingatkan kembali kesadaran kita sebagai sebuah bangsa bahwa Indonesia bukanlah Pulau Jawa semata terutama dalam kemajuan ekonomi.

Bila menengok kembali riwayat penetapan Kota Jakarta sebagai ibu kota RI tak lepas dari peran pemerintah kolonial Belanda yang lebih menjadi Jakarta sebagai pusat pemerintah kolonial. Ketika Indonesia merdeka para pendahulu kita melanjutkan fungsi Jakarta tetap sebagai pusat pemerintah negara baru ini. 

Sudah barang tentu pemilihan Jakarta sebuah pusat pemerintah kolonial saat itu bukan untuk ibu kota negara, namun alasan praktis Pulau Jawa adalah pulau tersubur dan Belanda perlu membangun pusat kendali pemerintahan di sini. 

Artinya bangsa ini belum pernah mendisain sendiri ibu kota, dan Jakarta hanya sebuah pembelokan rencana dari pemerintah kolonial Belanda di Indonesia. Soal pemindahan ibu kota bukan hal baru di dunia, sejumlah negara sudah melakukan antara lain Malaysia yang pusat administrasinya ke Putrajaya. Korea Selatan dari Seoul ke Sejong. Kazakhstan dari Almaty ke Astana, juga Australia ke Canberra. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline