Dua kali menggugat hasil pilpres ke Mahkamah Konsitusi dua kali juga Prabowo kalah , uniknya topik gugatan tahun 2014 dan 2019 ini sama yaitu "terstruktur, sistimatis dan massif" ( TSM ). Faktor kegagalan gugatan tersebut juga masih sama yaitu tidak bisa membuktikan dalil gugatan di depan sidang Mahkamah Konstitusi. Padahal tim kuasa hukum selalu diisi oleh pengacara - pengacara hebat, faktanya mereka tidak mampu membuktikan tuduhannya saat beracara di MK.
Saya yakin tim kuasa hukum Prabowo berapi - api saat mempresentasikan peluang kemenangan dalam gugatan itu sehingga Prabowo percaya dalam hal ini Bambang Widjojanto dan Denny Indrayana. Meski kedua pendekar hukum ini mempunyai reputasi hebat, Bambang sebagai mantan Komisioner KPK dan Denny adalah Profesor Hukum dan mantan Wamen Kemenkumham.
Namun ketika mereka beracara di MK tak berkutik karena tak didukung oleh bukti - bukti sah. Bambang dan Denny pasti tahu bahwa untuk beracara di MK ada prinsip hukum "siapa menuduh harus membuktikan" dan MK sendiri mempunyai ketentuan bahwa dalil tersebut harus dapat dibuktikan dengan ketentuan berikut : Surat - Surat, Saksi Fakta, Saksi Ahli , Keterangan Para Pihak.
Pada point "surat - surat" tim kuasa hukum Prabowo - Sandi gagal memenuhi ketentuan tersebut padahal sebelum sidang sesumbar bakal menghadirkan bukti - bukti sebanyak 12 truk. Entah kenapa truk sebanyak itu tak pernah datang ke gedung MK.
Modus serupa juga terjadi saat kubu Prabowo menggugat di MK pada tahun 2014, rupanya sudah menjadi kebiasaan tim Prabowo untuk teriak-teriak kencang di luar pengadilan. Lalu baru membuktikan dan meski faktanya selalu gagal memberikan bukti omongannya. Pertanyaan mengapa tim kuasa hukum 02 ceroboh dan terkesan asal - asalan juga dalam memilih saksi fakta dan saksi ahli.
Mengapa saya mengatakan Prabowo kembali dibohongi oleh tim kuasa hukumnya kali ini Bambang dkk ? Bambang Widjojanto bukan orang bodoh dan bisa menakar dengan jeli peluang menang atau kalah bila mengajukan gugatan PHPU di MK.
Demikian halnya dengan Denny Indrayana paham betul lika - liku beracara di MK meski dia bukan seorang ahli hukum tata negara karena lebih banyak bergiat di pemberantasan korupsi. Bambang dan Denny sebelumnya sudah ada chemistry sebelumnya saat Bambang masih di KPK dan Denny adalah ahli hukum yang militan membela komisi anti rasuah itu.
Mengapa kubu Prabowo mempercayai kedua orang tersebut , apakah hanya dijadikan simbol politik saja untuk mengkerdilkan mental kuasa hukum KPU ? Bila mencermati isi materi gugatan dari tim kuasa hukum 02 yang ingin membelokan gugatan ke soal kualitatif jelas sekali Bambang dari awal sadar tidak mampu memenuhi unsur kuantitatif dalam gugatannya. Tak heran bila saat mendaftarkan gugatan PHPU di MK secara bombastis Bambang menghimbau agar MK bertindak adil tidak berperan sebagai mahkamah penghitung selisih suara atau "Mahkamah Kalkulator".
Prabowo sebelumnya sempat menunjuk pengacara kawakan Otto Hasibuan dan Sufmi Dasco, entah mengapa Otto penunjukan itu batal dan digantikan Bambang. Baru menjelang pengajuan gugatan PHPU ke MK muncul nama Bambang dan Denny, dan dalam tim ini ada nama Hashim adik kandung Prabowo. Dari informasi yang saya dengar Hashim lah sutradara gugatan ini. Adik kandung Prabowo ini juga belum terima dengan kekalahan sang kakak, meski dapat dimaklumi Hashim adalah pendana atau sponsor utama selama Prabowo mengikuti tiga kali Pilpres.
Apakah Bambang saat ini masih punya muka di depan Hashim dan Prabowo setelah kegagalannya memenangkan gugatan PHPU ? Soal itu hanya Tuhan dan Bambang yang tahu, jelasnya trik dan manuver -nya di luar sidang dan saat mempertahankan dalil TSM -nya di sidang MK gagal total (gatot).
Sebagai pengacara profesional dengan gelar Doktor Ilmu Hukum, Bambang pastinya malu karena semua dalil serta bukti dan saksi yang diajukannya semua gugur. Terbukti Bambang tidak pandai mengelola materi bukti dan pemilihan saksi yang diajukan ke sidang kasus ini.