Kemiskinan menjadi tema perbincangan yang "seksi", apalagi di tahun politik saat ini, Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan ini melaporkan bahwa angka kemiskinan nasional turun. namun tak semua pihak mengamininya. Buat saya adalah soal bagaimana kita melihat dan menyikapi rilisan hasil penelitian dari BPS itu.
Sedikit menengok kebelakang, pada masa krisis keuangan 1998 banyak orang tiba - tiba jatuh miskin, inflasi dan PHK besar - besaran sejumlah industri padat karya membuat daya beli masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari - hari turun drastis.
Dampaknya banyak orang kehilangan penghasilan ditambah melambungnya harga - harga kebutuhan pokok akibat menguatnya US Dollar terhadap Rupiah. Nilai US Dollar saat itu menguat sampai 400 % dalam waktu singkat, tentu menimbulkan kekacauan banyak perusahaan yang bertransaksi dengan mata uang Amerika Serikat ini.
Soal kemiskinan ternyata begitu kompleks, kategori miskin tak sebatas dilihat dari apa yang kasat mata, banyak faktor apakah seseorang atau kelompok bisa dianggap miskin ?
Beberapa waktu lagu sempat heboh di media massa saat orang tua calon murid berduyun - duyun membuat Surat Keterangan Tidak Mampu ( SKTM) agar sang anak dapat kursi di Sekolah Negeri.
Akhirnya terbongkar bahwa surat - surat tersebut banyak tidak sesuai fakta. Para orang tua murid yang membuat SKTM tersebut menurut definisi miskin dari BPS atau Bank Dunia bukan golongan orang tidak mampu atau miskin. Wajar bila banyak orang mempertanyakan kevalidan proses pembuatan SKTM tersebut.
Standar Kemiskinan Indonesia
Setiap negara mempunyai indikator berbeda untuk mengkategorikan seseorang atau kelompok orang masuk dalam daftar orang miskin sehingga mendapatkan bantuan dari pemerintah. Bagaimana BPS mendefinisikan indikator kemiskinan di Indonesia? Menurut situs BPS, ada 14 indikator yang dipakai untuk mengukur tingkat kesejahteraan dari rumah tangga, bila ada 9 indikator melekat pada sebuah rumah tangga, maka yang bersangkutan masuk kelompok miskin. Berikut 14 indikator kemiskinan dari BPS :
- Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8m2 per orang
- Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan
- Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/ rumbia/ kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.
- Tidak memiliki fasilitas buang air besar/ bersama-sama dengan rumah tangga lain.
- Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
- Sumber air minum berasal dari sumur/ mata air tidak terlindung/ sungai/ air hujan.
- Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/ arang/ minyak tanah
- Hanya mengkonsumsi daging/ susu/ ayam dalam satu kali seminggu.
- Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun
- Hanya sanggup makan sebanyak satu/ dua kali dalam sehari
- Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/ poliklinik
- Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 500m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000,- per bulan
- Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/ tidak tamat SD/ tamat SD.
- Tidak memiliki tabungan/ barang yang mudah dijual dengan minimal Rp. 500.000,- seperti sepeda motor kredit/ non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
Indikator ini yang dipakai oleh Kementerian Sosial sebagai dasar memberikan bantuan sosial, termasuk Program Keluarga Harapan (PKH). Kemensos bergerak berdasarkan ukuran dari BPS dan hasil survei dari BPS dan verifikasi dari Pemerintah Daerah. Peran Pemda dalam pengentasan kemiskinan sangat penting, di era otonomi daerah, Pemda mempunyai kewenangan besar dalam mengelola semua sumber daya di daerah, termasuk persoalan kemiskinan.
Upaya Pengentasan Kemiskinan
Persoalan kemiskinan menjadi tema klasik, di setiap rezim mendapat jatah persoalan ini, namun bila tak terkelola dengan baik bisa membuat jatuh sebuah pemerintahan. Di akhir rezim Orde Lama, Indonesia juga mengalami krisis ekonomi berat terlepas dari persoalan politik akhirnya membuat Presiden Soekarno jatuh, demikian juga pada rezim Orde Baru.
Menurut catatan BPS, paska runtuhnya Orde Baru (Orba) tahun 1999, angka kemiskinan di Indonesia mencapai angka tertinggi, dan hasil survei BPS per Maret 2018 angka kemiskinan di Indonesia hanya satu digit. Padahal berdasarkan survei BPS per September 2017, angka kemiskinan kita masih dua digit, yakni 10,12 persen kini menjadi 9,82 persen atau setara dengan 25,95 juta orang.