PT Freeport Indonesia (PTFI) telah bercokol dan mengeksploitasi kekayaan bumi Indonesia di Papua lebih dari 30 tahun, lebih tua dari rezim Orde Baru yang dimotori oleh Soeharto pada tahun 1967 dan berakhir tahun di tahun 1998. Sejarah masuknya Freeport tak lepas dari peran mantan penguasa Orde Baru itu yang memberikan keistimewaan kepada PTFI dibandingkan perusahaan tambang lainnya di Indonesia.
Perpanjangan kontrak PTFI pada tahun 2021 menjadi perbincangan di media massa bahkan sebelumnya mengemuka kasus "Papa Minta Saham" yang melibat Ketua DPR RI, Setyo Novanto dan Menteri ESDM saat itu, Sudirman Said. Kasus ini sempat menguap selama beberapa waktu , muncul kembali ke permukaan setelah pihak pemerintah merilis Head t of Aggrement (HoA) pada 12 Juli 2018 , sebuah kesepakatan awal tidak mengikat antara PTFI, Pemerintah tentang masa depan kontrak tambang Freeport tahun 2021.
Publik seakan terhenyak dengan pemberitaan media massa bahwa Pemerintah berhasil merebut sahan PTFI sebesar 51 persen, padahal kesepakatan belum terjadi, masih ada tahapan berikutnya sampai tahun 2021 sesuai kontrak karya PTFI dengan Pemerintah. Mengapa menjadi bahan polemik ? Sebagian kalangan berpendapat pemerintah seharusnya bisa merebut 100 persen saham PTFI, sebagian pihak menyorot soal pembiayaan divestasi saham PTFI yang menggunakan hutang.
Divestasi Saham PTFI secara formal adalah sebuah keniscayaan dimana pengaturannya tertuang dalam UU No. 4 Tahun 2014 tentang Minerba yang mengatur tentang badan usaha asing yang memegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib melakukan divestasi hingga 51 persen setelah beroperasi lima tahun.
Dalam aturan turunannya PP No 77 Tahun 2014 disebutkan pemerintah menurunkan keharus divestasi menjadi 30 persen, aturan ini berubah lagi lewat PP No. 1 Tahun 2017 yang mengembalikan besaran prosentase divestasi menjadi 51 persen. Tahapannya yaitu divestasi 20 persen pada tahun keenam, 30 persen pada tahun ketujuh, 37 persen pada tahun kedelapan, 44 persen pada tahun kesembilan, dan 51 persen pada tahun kesepuluh
Kelemahan peraturan ini rupanya menjadi PTFI dalam bernegosiasi dengan Pemerintah Indonesia sehingga sempat muncul kabar perundingan PTFI dan Pemerintah Indonesia mengalami kebuntuan soal item ini. Pemerintah Indonesia seolah tersandera oleh peraturan yang dibuatnya sendiri, walau akar dari persoalan ini ada di hulu ketika perjanjingan pertama kali tahun 1967 dimana Pemerintah Indonesia "nrimo" hanya diberi saham kecil, royalti dan pajak dari pendapat.
Faktanya kita tak bisa berbuat apa - apa ketika PTFI meratakan gunung dan mengeruk kandungan mineral di dalamnya, bahkan saat ini kabarnya ekploitasi sudah masuk ratusan kilo di bawah tanah.
Nasionalisasi Vs Divestasi ?
Pada kasus PTFI, pemerintah memperjuangkan divestasi saham dari PTFI, artinya pemerintah membeli 51 persen saham PTFI dengan pembayaran, bukan ambil alih secara paksa. Berbeda dengan nasionalisasi yang pernah dilakukan Pemerintah Indonesia pada tahun 1958 terhadap perusahaan - perusahaan Belanda di Indonesia. Saat itu seluruh aset perusahaan - perusahaan itu diambil alih tanpa kompensasi biaya.
Sifat pemaksaan seperti dilakukan Hugo Chavez, Presiden Venezuela. Ujungnya di pengadilan internasional, Exxon Mobil perusahaan minyak yang diambil - alih pemerintah Venezuela menuntut dan menang di pengadilan. Dampak ekonomis dari aksi sepihak Chaves, Venezuela dikucilkan dan mendapat boikot dari negara - negara yang selama ini melakukan hubungan dagang, termasuk darj Amerika Serikat.
Lepas dari kesalahan masa lalu, Pemerintah Indonesia hari ini harus berjuang keras untuk mengambil alih saham lewat divestasi PTFI setelah 30 tahun lebih hanya sebagai penonton dan pasrah menerima apa yang dibagikan oleh PTFI. Ruang gerak Pemerintah terbatas meski secara hukum tambang Freeport berada di wilayah NKRI , tetapi perjanjian "Kontrak Karya" dengan PTFI dilindungi oleh hukum - hukum internasional, kita tidak bisa secara sepihak menetapkan aturan sendiri.