Lihat ke Halaman Asli

Sigit Budi

TERVERIFIKASI

Content Creator

Lupakan Politiknya, Nikmati Saja Pertandingannya

Diperbarui: 18 Juni 2018   03:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertandingan sepak bola Piala Dunia 2018 di Rusia (Fifa/Getty Images)

Piala Dunia 2018 ini syarat politisasi di tanah air yang sedang yang masuk tahun politik jelang Pemilu 2019. Duel antara Arab Saudi dan Rusia yang berujung pada kekalahan Saudi pun menjadi bahan politik sebagai laga paham Wahabi vs Komunis. Sebelumnya ada kejadian timnas Argentina tolak berlaga dengan timnas Israel. Pada kasus Arab Saudi dikaitkan dengan ibadah Puasa timnas Arab Saudi sebagai penyebab kekalahan, soal sikap Argentina dianggap kemenangan umat Muslim pendukung Palestina.

Keputusan timnas Argentina tersebut, seperti dilansir BBC.com (6/06/2018) adalah keputusan politik pemerintah Argentina atas tragedi di Jalur Gaza. Padahal PM Israel, Benjamin Netanyahu sudah menelpon Presiden Argentina agar Lionel Messi dkk mau bermain melawan timnas Israel jelang Piala Dunia 2018 ini, namun permintaan PM Israel ini ditolak oleh Pemerintah Argentina.

Bagaimana kita menyikapinya agar konsentrasi terganggu oleh cerita-cerita di luar lapangan yang tidak terkait dengan kemampuan tim di lapangan hijau?

Cara terbaik adalah lupakan soal politik dan ideologi dari negara timnas yang berlaga di Piala Dunia 2018. Bila pemikiran ini menggayuti benak kita, niscaya kita tidak dapat menikmati pertandingan di lapangan hijau dengan nyaman. Pikiran kita akan terganggu oleh cerita - cerita di luar pertandingan, sehingga tidak bisa menilai dengan transparan dan obyektif kemampuan timnas negara - negara yang berlaga di Piala Dunia 2018 di Rusia.

Undian Piala Dunia (dok.voaindonesia.com)

Sejak kasus Mohammed Salah gagal membawa Liverpool mengalahkan Real Madrid artinya gagal pula meraih Piala bergengsi sepak bola Eropa, UCL. publik Indonesia terbawa sentimen kuat keagamaan atas pemain atau negara yang membawa identitas Muslim. Sah - sah saja perasaan simpati tersebut, namun jangan sampai sentimen ini mengurangi obyektifitas kita menikmati pertandingan. Pertandingan sepak bola tak seru bila tidak ada sentimen dari supporter, justru sentimen ini yang menghidupkan dan membuat ramai sebuah pertandingan.

Namun akan menjadi sebuah kontraproduktif bila sentimen itu berlebih - lebihan dan membawa identitas keagamaan yang bisa membawa intoleransi di dunia nyata. Pertandingan di lapangan cukuplah di lapangan saja, tidak perlu disikapi over reactive dengan demonstrasi massa untuk menyatakan sikap dan dukungan terhadap tim atau

Bakal kontraproduktif bila pendukung tak dapat bersikap rasional dan menganggap kekalahan atau kemenangan tim sepak bola dukungannya berlaku juga di luar lapangan bola. Tentu hal ini adalah sebuah ketidakdewasaan bagi supporter sepak bola dan dapat mencemari "fairplay" yang menjadi prinsip utama dalam persepakbolaan.

Seyogya supporter sepak bola bersikap arif dan bijak, tidak mudah terbawa oleh sentimen - sentimen identitas yang dapat merusak hubungan sosial mereka di luar lapangan. Pertandingan sepak bola hanya berlangsung 2 x 45 menit, namun hubungan sosial, kekerabatan dengan lingkungan, sahabat dan teman berlangsung seumur hidup. Alangkah ruginya bila kita mengorbankan relationship yang sudah terbangun indah menjadi rusak gegara dukungan kita terhadap pemain atau tim sepak bola yang kebetulan beridentitas sama.

Fanatisme tidak salah, akan menjadi bencana bila sikap tersebut merusak kehidupan nyata kita. Salam Fairplay !!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline