Lihat ke Halaman Asli

Sigit Budi

TERVERIFIKASI

Content Creator

Tragis Nasib Buruh, Hanya Dijanjikan lalu Ditinggal

Diperbarui: 1 Mei 2018   19:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Kompas.com/David Oliver Purba)

Masa Depan Buruh Suram,

Setiap tanggal 1 Mei selalu di warnai perayaan akbar dari kaum buruh, kegiatan paling menonjol adalah aksi demonstrasi. Substansi tuntutan buruh setiap tahun tak jauh bergeser, yakni kenaikan upah dan kesejahteraan, tahun ini diformulasi dengan akronim "Tiga Layak. Gerakan buruh kini lebih banyak dimainkan di tataran politik praktis untuk kepentingan elit politik, sedangkan masa depan mereka terlupakan.

Saya sendiri dibesarkan di lingkungan buruh, saya tahu sekali perjuangan mereka untuk hidup layak dengan beban tagihan rutin bulanan, seperti listrik, belanja bulanan, kontrakan rumah, pendidikan anak, kesehatan yang tak imbang dengan jumlah UMR. Saya mengerti sekali beban hidup mereka, hampir tiap hari kami berinteraksi satu sama lain, dan kebetulan ayah saya juga bekerja di pabrik yang sama tapi bukan di produksi.

Satu hal yang saya tangkap saat berbincang dengan mereka adalah semangat hidupnya, kekuatan mentalnya, meski berupah pas -pasan dan beban anak lebih dari satu tetap giat bekerja dan tidak kendor. Hanya hukum alam yang mengalahkan, kebanyakan fisik mereka tak kuat menerima deraan beban kerja tinggi dan tekanan kehidupan yang tak kunjung ada jalan keluar.

Bukan rahasia lagi, standar upah ini tidak pernah bisa memenuhi Kebutuhan Hidup Layak (KHL), meski tiap daerah mempunyai standar hidup berlainan. Dibandingkan UMR di Jakarta, UMR di Semarang lebih rendah tapi biaya hidup di Jakarta juga tinggi.

Sebuah kenyataan pahit, populasi Indonesia menempati ranking no. 4 dunia dengan jumlah penduduk kisaran 260 juta jiwa, sayang kualitas SDM nasional masih jauh dari standar internasional.

Saya yakin kenapa orang mau menjadi buruh pabrik atau pekerja kasar karena kompetensi ketrampilannya rendah. Tak menutupi kenyataan, ada juga anak bangsa berprestasi di tingkat internasional, dibandingkan rasio jumlah usia produktif berumur 15 -- 64 tahun yang berjumlah sekitar 160 juta jelas tidak signifikan.

Bila dahulu Soekarno pernah berpidato "Berikan aku 10 pemuda , niscaya akan kuguncangkan dunia", saya yakin maksud Presiden RI pertama ini bukan asal pemuda tanpa ketrampilan, kreatifitas dan pengetahuan. Pasti Soekarno menginginkan 10 pemuda Indonesia dengan kapasitas se-level Mark Zukerberg, pendiri Facebook untuk mengguncangkan dunia.

Faktanya, media pertemanan karya cipta Zuckerberg dan kawan -- kawannya mampu mengguncang dunia, kapitalisasi perusahaan Facebook kapitalisasi ungguli industri -- industri konvensional yang merajai pasar dunia sebelumnya.

Apakah kita butuh kapasitas SDM setinggi itu ? Saya yakin ada talenta berbakat seperti Zuckerberg di Indonesia, yang berpikiran cerdas dan bisa merealisasikannya. Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri dalam satu acara mengatakan, Indonesia banyak memiliki role model anak bangsa berprestasi namun jumlah mereka sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja kita.

Tak heran sebenarnya, ketenagakerjaan merupakan persoalan hilir dimana leading sector -nya adalah ekonomi dan pendidikan. Bila kedua sektor tersebut terangkat pada setiap keluarga -- keluarga Indonesia, anak -- anak Indonesia tidak terpaksa menjadi buruh, pekerja kasar atau TKI untuk bertahan hidup, seperti di negara -- negara maju pekerja kerah biru diisi oleh TKA atau imigran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline