"Kenapa kita tidak menggunakan bahasa?"
"Kenapa tidak ada satu kepala negara?"
"Kenapa tidak ada satu agama..?"
Pertanyaan itu tertulis di lembar-lembar "post it" yang di tempel di sebuah papan (board) pada sebuah kelas penerimaan SMP di Perancis.
Apa yang menarik dari pertanyaan anak-anak SMP itu? Setidaknya tersirat sebuah sebuah keingintahuan dan keluguan, mengapa manusia terlahir dalam kotak-kotak agama, ras dan bangsa.
Pertanyaan ini kontekstual sekali dengan kondisi kebangsaan kita. Dinamika politik nasional mengindikasikan perpecahan di akar rumput (grass root), bahkan di tataran anak sekolah. Beberapa waktu lalu di sebuah sekolah di Jakarta terjadi perundungan (bullying) terhadap seorang siswa. Sang siswa dirundung karena berfisik beda, warna kulit dan besaran matanya. Sampai sang anak tidak mau sekolah selama berhari-hari karena mendapat kekerasan fisik.
Film berjudul "Sekolah Babel" yang ditayangkan di Pusat Kebudayaan Perancis IFI Jakarta sangat inspiratif. School Of Babel (La Cour de Babel) yang sebelumnya pernah di tayangkan di IFI, kembali diputar untuk event Festival Film Toleransi 2017 sebagai peringatan Hari Tolerasi Dunia setiap 16 November.
Buat saya yang menyukai film Prancis seperti menemukan ide baru merajut perbedaan dalam selebrasi anak-anak. Sebagai manusia dewasa orientasi pikiran dan hidup kita seperti sudah ter-set up tanpa kita sadari. Kesadaran ini terbangun oleh lingkungan kita dari kecil sampai dewasa. Ketika masih kanak-kanak sampai remaja kita mungkin mudah menerima keragaman manusia di lingkungan kita. Tapi setelah dewasa kita menjadi bagian pion permainan kepentingan besar, yakni bisnis dan politik. Dalam bisnis sebagai pelaku dan konsumen, di politik sebagai aktor sekaligus partisipan penyumbang suara kontestasi politik.
Film ini berkisah soal dinamika interaksi sosial anak-anak imigran di Prancis dari berbagai belahan dunia. Mereka masuk ke Prancis saat usia mereka sudah belasan tahun (SMP). Karakter dan perilaku mereka sudah terbentuk dari daerah asalnya yang homogen secara kultur dan bahasa. Di kelas persiapan untuk anak-anak imigran yang akan masuk kelas umum ini terjadi proses intoleransi alami antar anak yang beda agama, bangsa dan etnis. Rasa senasib mereka terbangun sendiri, sebagai perantau di negeri asing, kesulitan mereka sama, yakni soal bahasa.
Semua anak-anak itu adalah "native speaker", tiba-tiba harus belajar bahasa baru agar survive. Mau tidak mau mereka harus menerima rasa risih dan tidak nyaman dalam lingkungan heterogen. Adaptasi sosial berjalan, masing-masing anak bisa menyikapi perbedaan tanpa harus didikte. Kesadaran itu muncul melalui "sharing" dan keterbukaan yang dialkukan secara terus-menerus yang pada akhirnya menemukan sebuah jalannya sendiri.
Lewat pertanyaan-pertanyaan terbuka di pembuka tulisan ini oleh anak-anak itu, mereka menemukan spirit kesamaan dalam perbedaan.