Kapan nikah ? sebuah pertanyaan biasa sebenarnya, wajar bila keluarga besar atau teman sekolah menanyakan kepada yang masih "jomblo". Seringkali untuk menjawab pertanyaan soal waktu untuk menikah tersebut bukan sesuatu yang mudah, apalagi yang belum berpasangan atau single. Bagi yang sudah berpasangan pun bila kualitas hubungan mereka tidak solid, juga susah menjawab pertanyaan semudah itu. Jawaban yang paling aman biasanya "tahun depan", tidak secara spesifik menyebutkan bulan, apalagi tanggal pastinya.
Berpasangan adalah sebuah panggilan alam, di bawah langit ini, selalu terdapat dua unsur berpasangan, sudah dari sananya Tuhan menciptakan demikian. Semua agama pun menyarankan demikian, selain untuk saling melengkapi secara karakter dan kebutuhan akan kasih sayang dan biologis. Pertanyaannya, pada usia berapa seseorang siap menikah, atau harus menikah? Seperti pertanyaan "kapan menikah?", pertanyaan ini juga sulit untuk dijawab.
Secara umum, kematangan emosional dan ekonomi adalah modal utama dalam membangun mahligai pernikahan "ever after", dalam banyak kasus seseorang yang siap secara ekonomis belum tentu siap untuk menikah. Justru bertolak belakang, mereka yang belum siap secara ekonomi tapi sudah berani menikah, mungkin secara emosional merasa dirinya sudah siap.
Mengingat usia pernikahan dewasa ini cenderung lebih pendek bila dibandingkan generasi sebelumnya (perlu data yang lebih sahih untuk mendukung pendapat ini, penulis hanya melihat di lingkungan penulis dan kerabat), maka menjadi suatu pertanyaan besar, sebenarnya patokannya apa agar sebuah pernikahan suci berujung pada perceraian karena maut?
Secara kultural dan sosial, rasa malu untuk bercerai kini dirasakan sudah menipis, sehingga perceraian bukan sebuah "aib", menyandang status "janda" bukan hal yang memalukan. Keputusan - keputusan bercerai dewasa ini lebih logis, rasional, seperti ketidakmampuan ekonomi sang suami, perselingkuhan, atau faktor sakit penyakit yang menimpa salah satu pasangan.
Undang - Undang Perkawinan di Indonesia menghendaki adanya monogami, namun pada kenyataannya poligami banyak terjadi di semua lapisan masyarakat, faktor yang mendukung poligami karena agama tidak melarang. Ini bisa jadi salah solusi mengawetkan sebuah pernikahan, selama dari pihak istrinya merestui. Kenyataannya banyak istri tidak rela dimadu, lebih memilih bercerai, sehingga menimbulkan perceraian. Seperti sebuah misteri, ada yang mengatakan jodoh di tangan di Tuhan, itu betul, tapi perlu dicermati bila Tuhan hanya mempertemukan, untuk mempertahankan sebuah pernikahan tergantung kepada yang menjalaninya.
Bagaimana menyikapi masalah - masalah dalam pernikahan, pemahaman hubungan antara suami istri, pengendalian emosi, masalah ekonomi, anak, dan lain - lain adalah segudang masalah yang menanti siapa saja yang memasuki gerbang pernikahan. Disini peran keluarga, agama menjadi sebuah penentu keutuhan keluarga, keluarga yang harmonis dari orang tua akan menjadi teladan bagi anak - anak mereka di kemudian hari, juga agama sebagai patokan moral bersama untuk membangun sebuah keluarga yang harmonis.
Apakah tidak menikah itu aib? Banyak orang tidak menikah karena alasan - alasan tertentu, karena panggilan agama, sakit penyakit, budaya atau memang dari pribadi orang tersebut memutuskan untuk tidak menikah. Hidup adalah sebuah pilihan, perlu diketahui bahwa setiap pilihan mengandung tanggung jawab secara sosial, moral dan agama. Disinilah sebenarnya yang perlu dikedepankan mereka yang akan menikah, bahwa memilih menikah atau tidak menikah membawa tanggung jawab, dan perlu dipertanggungjawabkan. Selamat menempuh hidup baru bagi yang akan menikah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H