Lihat ke Halaman Asli

Sigit Setyawan

Keterangan Profil

5 Terobosan Pendidikan untuk Indonesia Maju

Diperbarui: 2 Mei 2019   08:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Setelah pemilihan umum, pelantikan presiden, dan pemilihan menteri, kemudian terjadilah perubahan kurikulum. Demikianlah siklus perubahan pendidikan di Indonesia. Mungkin para guru harap-harap cemas: perubahan apa lagi yang akan membuat hidup mereka bertambah susah?

Nyatanya, dengan  semua perubahan yang telah terjadi, hingga kini rangking PISA dan tingkat literasi di Indonesia tercatat masih sangat rendah.
Izinkan saya mengusulkan beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah ke depan agar pendidikan di Indonesia maju dan segera dapat meningkatkan kualitas bangsa, terutama di pendidikan dasar dan menengah.

Pertama, beralih fokus dari bagaimana guru mengajar ke bagaimana siswa belajar.  Apakah siswa bisa berpikir kritis di kelas dan mengolah perasaannya untuk menghargai teman-temannya? Dengan demikian, mereka menjadi manusia seutuhnya, mampu berpikir sistematis dan berbudi pekerti yang baik.

 Hari ini, praktik pendidikan pada umumnya ibarat para siswa menjadi "objek" atau penerima materi pelajaran yang mengangakan mulutnya agar guru dapat memasok materi.

Kedua, jika mau membantu guru sejahtera, sejahterakan saja dan tidak perlu banyak persyaratan. Kondisi saat ini, jika seorang guru hendak mendapatkan tunjungan sertifikasi, banyak persyaratan administratif hingga kadang mengorbankan kualitas mengajar di kelas.  Maka, berikan saja tunjangan keguruan tanpa syarat berbelit. 

Asal seorang guru mengajar, ada siswanya, ada kelasnya, berikan saja tunjangannya. Dengan cara demikian kesejahteraan otomatis meningkat tanpa perlu mengorbankan siswa yang "terpaksa" ditinggalkan sang guru demi mengikuti PLPG atau pelatihan-pelatihan. Dan guru pun tidak perlu harus menghabiskan waktu untuk "main cara" memenuhi kewajiban 24 jam mengajar.

Ketiga, kurikulum adalah kerangka kerja umum yang menyatukan, bukan sebuah belenggu dalam berkarya. Maksudnya, kurikulum yang dibuat pemerintah hendaknya fleksibel dan hanya memberikan frame work, bukan mengatur masalah teknis bagaimana guru harus mengajar. 

Yang diwajibkan oleh kurikulum adalah yang benar-benar mendasar saja, misalnya kewarganegaraan agar siswa mencintai Pancasila, berbudi pekerti luhur, dan pemikir kritis. Mengenai cara pengajaran atau pedagogi, biarkan guru mencari cara yang kreatif.

Keempat, akreditasi sekolah seyogyanya sungguh-sungguh mencerminkan kualitas pembelajaran. Saat ini akreditasi ditandai dengan nilai A, B, atau C. Kalau sebuah sekolah dapat nilai A apakah artinya bagai siswa? Kalau B apakah artinya bagi siswa? Apakah di sekolah dengan nilai A berarti siswanya lebih hebat dari B? Dan apakah proses akreditasi sungguh-sungguh menilai proses belajar di kelas? Saya kira tidak. 

Saya tidak yakin akreditor sekolah saat ini mengetahui kehebatan guru dan siswa saat mereka belajar di kelas.  Atau sebaliknya, saya tidak yakin mereka mengetahui bagaimana payahnya seorang guru atau para siswa di kelas saat belajar, meskipun akreditasinya mendapat nilai A. Masyarakatlah yang justru kadang menilai dengan tepat kualitas sebuah sekolah dengan tidak mengirimkan anaknya ke sekolah tersebut.

Kelima, penilaian performa guru bukan di administrasi, tapi pada bagaimana seorang guru membuat para siswa di kelas belajar. Memang guru juga administrator, tetapi esensi memajukan bangsa adalah bagaimana dia menjadikan seorang murid menjadi manusia Indonesia seutuhnya.

Demikian lima hal yang saya usulkan. Salam pendidikan.  (Sigit Setyawan,S.S.,M.Pd |  www.sigitsetyawan.com)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline