Lihat ke Halaman Asli

Sigit Setyawan

Keterangan Profil

Malu, Kita Rank 2 dari Bawah!

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1392273187793537607

[caption id="attachment_322360" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption]

The Organization for Economic Cooperation and Development’s (OECD) menempatkan Indonesia di peringkat kedua dari bawah dalam PISA 2013 (Program for International Student Assessment). Ini adalah hal yang memalukan dan cambuk yang semestinya melecut kita. Ketika pemerintah justru memakai momentum ini untuk membenarkan diberlakukannya kurikulum 2013, kita perlu pesimistis sebab implementasinya masih konservatif dan kurang cepat. Padahal, kita butuh terobosan.

Sebenarnya ada yang baik dalam persiapan penerapan kurikulum baru itu. Pemerintah telah mengumpulkan dan melatih instruktur nasional. Oleh karena itu, alih-alih melakukan penataran untuk guru, sebaiknya para instruktur nasional itu dijadikan sebagai agent pemerintah untuk ditempatkan di sekolah-sekolah. Mereka live-in di sekolah untuk tiga hingga empat bulan lamanya. Tugasnya adalah untuk menjadi coach atau mentor bagi para guru di sekolah. Mereka membantu para guru untuk membuat terobosan-terobosan kreatif dalam kegiatan belajar-mengajar.  Upaya tersebut akan lebih cepat dalam mengejar ketertinggalan kualitas pendidikan kita dari negara-negara lain.

Jangan lagi dilaksanakan program untuk guru dalam bentuk seminar-seminar. Semua akan terlihat bagus, tetapi tidak memperbaiki akar masalah dengan cepat. Sudah saatnya kita meninggalkan metode-metode di mana para guru datang, duduk, dengar, tanda tangan, lalu pulang. Program dinyatakan selesai dan beres jika semua dilaksanakan. Karena kenyataannya, setelah seminar-seminar, kegiatan belajar mengajar tetap berjalan sama saja dan tanpa perubahan berarti.

Para instruktur nasional semestinya melihat, merasakan, dan terlibat langsung dalam pengajaran yang sebenar-benarnya. Mereka harus siap menjadi contoh bagaimana para guru seharusnya mengajar, sehingga anak menjadi pintar dan mampu bersaing dengan anak-anak dari bangsa lain. Dengan begitu, pemerintah benar-benar menyentuh persoalan riil pengajaran di tingkat paling bawah.

Dengan masuknya para agent ke sekolah untuk menjadi mentor, tidak berarti mencampuri urusan sekolah. Ambil contoh gerakan Indonesia Mengajar yang dimotori Anies Baswedan. Keberadaan guru-guru yang dikirim ke pedalaman itu sama sekali tidak mengintervensi manajemen sekolah. Mereka justru menginspirasi guru-guru dan siswa di tempat mereka dikirim. Demikian semestinya para agent pemerintah ini masuk dan mendorong kualitas sekolah-sekolah.

Hal itu sangat perlu karena saat ini, ketika Saudara membaca artikel ini, semua bangsa di dunia sedang memperbaiki diri dan berlomba menyiapkan generasi penerus mereka untuk “bersaing” secara global. Jelas, tidak ada satu bangsa pun tinggal diam.

Hentikan Pemujaan Piala

Hal berikutnya yang perlu diluruskan secara luas adalah pandangan dunia pendidikan mengenai prestasi-prestasi. Disadari atau tidak, saat ini terjadi gap yang luar biasa besar antara pencitraan dan kenyataan kualitas pendidikan siswa. Sebagai contoh, banyak sekolah “favorit”  tidak sungkan-sungkan memamerkan para siswa dengan piala-piala dan prestasi-prestasi siswa juara satu sebagai materi promosinya. Sepintas tidak ada yang salah. Namun jika diamati, para siswa  itu cuma satu dari ratusan siswa di sekolah tersebut. Padahal, tidak semua siswa perlu jadi juara dalam olimpiade-olimpiade. Event semacam itu adalah untuk siswa tertentu saja, yang memang dipersiapkan secara istimewa. Tidak mungkin seluruh siswa dapat menjadi yang nomor satu dalam olimpiade. Sebaliknya, setiap siswa harus menjadi orang yang terbaik untuk masa depannya sendiri.

Di tengah kebanggaan kita pada sang juara, kita seharusnya kecewa dengan mereka yang “menjual” kemenangan itu sebagai kamuflase, seolah-olah itulah hasil dari sistem pendidikan kita. Kini kita perlu sadar dan memahami realitas kita sebenarnya. Pendidikan harus fokus pada keberhasilan seluruh siswa. Pemerintah hendaknya menjadi motor utama dalam gerakan penyadaran ini. Kita harus berkampanye besar-besaran untuk mendorong seluruh sekolah melakukan kegiatan belajar yang mencerdaskan bagi seluruh siswa.

Kirimkan Guru Ke Luar Negeri

Bagian yang tak kalah penting dari kurikulum adalah pelaksana kurikulum itu, yaitu para guru. Kita butuh guru-guru yang berwawasan luas dan inspiratif. Jika guru kita demikian, dampaknya akan langsung dirasakan para siswa. Terobosan besar akan terjadi.

Selama ini keinginan untuk memajukan pendidikan adalah karena para petinggi telah studi banding ke negara-negara maju atau bahkan bersekolah di sana. Mereka mengalami “eureka” atau“a-ha experience”. Sebuah kesadaran baru muncul dan diikuti berbagai program dan kebijakan. Demikianlah para pembuat petinggi di dunia pendidikan, berdasarkan pengalaman di luar negeri itu, mereka ingin sekali mengimplementasikannya di bumi Indonesia. Sayangnya, kebijakan itu kemudian tidak pernah membumi karena para pelaksananya (baca: guru) tidak pernah mengalami “eureka” yang sama. Bukan “a-ha” yang diucapkan guru, tetapi “a-duh” setiap kali hal baru diterapkan.

Maka, selain mengirimkan agent untuk langsung masuk ke kelas-kelas dan membuat pembelajaran di kelas, pemerintah perlu mengirim para guru Indonesia ke luar negeri. Para guru perlu mengalami apa yang disebut sebagai a-ha experience itu.

Demikianlah, untuk mengejar ketertinggalan dengan negara-negara lain, tidak ada pilihan lain selain kita bergerak cepat dan membuat berbagai terobosan. Namun, kembali lagi ke masalah riil politik kita: siapa yang berani berpikir out of the box dan membuat gebrakan? Haruskah kita menunggu hingga Pilpres 2014 selesai? Atau, selamanya kita akan berada di peringkat bawah? (Sigit Setyawan, S.S., M.Pd. Guru dan Penulis Buku "Guruku Panutanku" dan "Nyalakan Kelasmu: 20 Metode Mengajar".)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline