Lihat ke Halaman Asli

Sigit Setyawan

Keterangan Profil

Guru dan Siswa Buta Buku?

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1394083655729147293

[caption id="attachment_326166" align="aligncenter" width="632" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption]

Sudah berapa buku yang Anda baca? Tengok kanan-kiri, berapa buku yang tetangga Anda atau Pak RT Anda baca? Apakah Pak Kades atau Pak Lurah sudah membaca setidaknya 1 buku tahun ini?

Hanya 3,5 persen buku terbaca tuntas di negeri dengan minat baca tinggi, sementara di Indonesia mungkin hanya 1 persen saja (Kompas, 30/11/2013). Bukan hanya mencengangkan, apa yang diungkap dalam pertemuan Penerbit Buku Kompas tersebut seharusnya membangunkan kita semua. Kita mungkin telah bebas buta huruf, tapi nyata bahwa kita belum membaca. Kita masih buta buku.

Membaca buku memang banyak manfaatnya dan merupakan inti dari sebuah kegiatan belajar. Namun secara ironis, di dalam komunitas sekolah sendiri para siswa cenderung anti membaca buku. Enggan membaca buku itu terefleksi dari istilah “kutu buku”, stereotip untuk siswa dengan kepribadian aneh dan kurang bersosialisasi. Ia diopisisikan dengan si populer yang cantik nan “gaul” dan suka dandan. Atau, jika laki-laki, dioposisikan dengan “cowok atletis” si jago basket. Hal itu diperkuat oleh atau mungkin justru bersumber dari film-film yang sering kita tonton.

Sungguh mengherankan bahwa selama sembilan tahun bersekolah hingga tingkat SMP, 12 tahun sampai SMA, 16 tahun hingga meraih gelar sarjana, hanya sedikit buku dibaca hingga tuntas. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: benarkah para siswa dan mahasiswa kita membaca buku ataukah mereka sekedar membaca kalimat yang digarisbawahi karena merupakan jawaban untuk ujian semester?

Hal itu sangat kontradiktif dengan apa yang diceritakan oleh orang-orang tua kita. Cerita yang beredar adalah bahwa dulu di zaman Belanda, siswa setingkat SMP saja sudah harus membaca beberapa buku. Jika benar adanya, betapa sesungguhnya kita telah mengalami kemunduran kualitas dalam hal tingkat literasi kita membaca buku.

Kondisi lemahnya tingkat baca buku bersumber dari sekolah. Keengganan masyarakat untuk membaca buku perlu dilihat dari proses pembentukan minat baca sejak SD hingga SMA. Kita harus jujur bahwa kita asing dengan kegiatan silent reading di dalam kelas. Membacabuku bersama guru diikuti dengan diskusi adalah kegiatan yang masih “langka”.

Kelangkaan itu disebabkan oleh berbagai alasan. Pertama, tidak ada waktu. Desain kurikulum kita serta ditilik dari jumlah jam belajar ditambah dengan banyaknya mata pelajaran, muskil bila kegiatan membaca buku di kelas dilaksanakan. Membaca buku di rumah pun merupakan mission: imposible sebab guru tidak dapat mengetahui apakah siswa sungguh membaca buku ataukah tidak.

Kedua, karena terbatasnya sumber bacaan yang sesuai dengan usia siswa. Tidak mudah menemukan buku dengan audiens yang spesifik untuk memperluas wawasan siswa segaris dengan kurikulum. Buku-buku dengan target audiens SD, SMP, dan SMA seringkali sulit dipahami isinya oleh siswa SMA sekalipun. Para siswa kita hanya mengenal “buku teks” yang berisi materi pelajaran dan tujuan-tujuan instruksional demi meraih nilai. Para siswa kita tidak pernah menikmati sebuah buku sebagai pencerah kehidupan.

Ketiga, masalah fundamental, yaitu bahwa para guru sendiri enggan membaca buku. Alasannya juga berbagai macam. Selain karena memang tidak ada minat, para pengajar ini disibukkan untuk mencari nafkah dan mengurusi urusan administrasi yang tidak sedikit jumlahnya. Membaca buku lebih dipandang sebagai membuang waktu berharga.

Keempat, membaca buku adalah kemewahan. Buku bukanlah barang “murah”. Dengan penghasilan pas-pasan, membeli buku sama saja dengan “membuang” uang. Sehingga, jika bukan karena demi tes, ujian, atau tuntutan tugas dari guru atau atasan, membeli buku adalah kemustahilan. Bukan hanya karena harga, kemewahan itu juga dilihat dari sisi waktu. Alih-alih membaca buku, para siswa memilih bersosialisasi dengan teman lain atau bermain gadget. Sementara, para guru lebih memilih memakai waktunya untuk mengoreksi pekerjaan siswa atau mengerjakan tugas admnistratif yang menumpuk.

Oleh karena itu tidak berlebihan jika kita perlu segera bangun dan menyadarkan semua pihak bahwa kita dalam kondisi buta buku. Jika buku adalah jendela dunia, maka nyata bahwa kebutaan kita ini telah membuat kita gagal memahami dunia. Tidak heran, jika kondisi kita di banyak sektor sangatlah terpuruk.

Lebih dari Gerakan

Sudah saatnya pemerintah membuat program, bukan sekedar gerakan, agar para guru membaca buku. Di dunia pendidikan, buku seharusnya bukan barang mewah, melainkan “makanan pokok” layaknya nasi. Tidak membaca buku berarti ilmu pengetahuan mati. Jika ilmu mati, ide dan kreativitas akan “mati” pula. Selain menyediakan akses kepada buku, guru perlu diberi akses pada tersedianya waktu untuk membaca buku dan diskusi buku. Jadikan membaca dan diskusi buku sebagai beban kerja setara tatap muka mengajar.

Perpustakaan harus menjadi pusat dari kegiatan akademik para siswa dan guru. Perpustakaan harus dirombak sedemikian rupa agar menarik dan menyenangkan, lengkap koleksinya, dan dikelola secara profesional.

Guru dan pihak sekolah harus memulai program membaca bagi seluruh siswa. Silent reading bersama guru di kelas dilanjutkan dengan diskusi harus menjadi tradisi. Baik siswa maupun guru pada awalnya akan “terpaksa” membaca, tetapi pada akhirnya akan menumbuhkan kebiasaan membaca itu sendiri. Kesadaran membaca dan menikmati buku secara tuntas akan menjadi kunci keberhasilan kita. Para penerbit perlu juga memberikan dukungan berupa penyediaan sumber bacaan berkualitas dan harga yang terjangkau.

Pada akhirnya, kebiasaan membaca buku akan membuka mata kita pada dunia. Dengan demikian, akan terjadi kebangkitan besar di tengah masyarakat. Ide-ide cemerlang, inovasi, dan kreativitas akan bermunculan seiring dengan banyaknya orang membaca buku. Hal itu pasti menjadikan Indonesia yang lebih cerdas, maju, dan sejahtera seperti cita-cita kita semua. (Sigit Setyawan, Guru dan Penulis Buku "Guruku Panutanku", "Nyalakan Kelasmu: 20 Metode Mengajar").

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline