Jika Anda guru dan bingung mengajar kurikulum 2013, sama. Saya sudah ikut pelatihannya 10 hari, mengajar 12 tahun di SMA, sekarang mengajar SD dan SMP, justru tambah bingung. Jika Anda adalah orang tua murid dan ikut bingung, sama. Saya juga orang tua dari siswa yang terkena dampak kebingungan kurikulum ini. Ingin tahu mengapa? Begini.
Saya ingin ceritakan betapa bingung dan janggalnya mengajarBahasa Indonesiakhususnya SMP. Saya tidak akan heran kalau para siswa (juga anak Anda) akan tambah gagap menulis setelah selesai SMP atau SMA.
Dalam Kurikulum 2013 mulai digunakan pendekatan teks. Artinya, siswa akan belajar Bahasa Indonesia mulai dari sebuah Tipe Teks. Misalnya, saya minta siswa membaca sebuah artikel dari Harian Kompas. Lalu, dari sana mereka akan belajar tentang berbagai hal, dari sisi kebahasaannya maupun strukturnya. Setelah membaca teks, siswa mengidentifikasi kekurangan teks tersebut atau meringkasnya.
Janggalnya, di Kurikulum 2013 dituliskan bahwa pembagian jenis teks ada yang disebut sebagaiteks hasil observasi. Padahal teks di surat kabar, media online, dan artikel ilmiah semuanya merupakan hasil observasi. Kita tidak mungkin menulis teks tanpa melakukan observasi.
Di Kurikulum 2013 ditulis begini: teks hasil observasi, deskriptif, dan eksposisi. Cukup janggal karena "deskriptif" adalah sifat, sementara itu "eksposisi" adalah bentuk tulisan. Yang disebut deskriptif dan eksposisi itu juga merupakan hasil observasi. Jadi, teks hasil observasi adalah sebuah hasil dari eksposisi yang deskriptif?
Dalam hidup sehari-hari, kita akan menemui banyak tipe teks. Kita menulis surat untuk rekan bisnis, membuat surat permintaan barang, misalnya. Atau, membuat surat perjanjian kerja sama. Ketika membuka koran, di halaman depan ada berita, ketika dibuka lagi ada artikel opini, surat pembaca, sampai advertorial. Ketika membuka media online, kita bertemu dengan artikel di blog atau wiki. Ketika masuk universitas, kita harus membuat esai, paper, dan sebagainya. Kita pun membaca buku, artikel tips, novel, dan sebagainya. Itu semua benar-benar keseharian kita.
Sayangnya, yang sehari-hari itu tidak dibawa ke kelas. Di dalam kelas siswa malah membahas tentang hasil observasi, deskripsi, eksposisi, dan sejumlah tipe teks yang mungkin maksudnya sama tapi namanya sungguh sangat berbeda, seperti dua dunia yang terpisah: dunia pelajaran dan dunia nyata.
Pendekatan Saintifik?
Hal lain yang perlu saya share adalah pendekatan saintifik di bidang studi Bahasa Indonesia. Jika Anda adalah "orang science" atau dari kalangan ilmu pasti, tentu sudah sangat terbiasa. Namun, bagi orang bahasa dan budaya (seperti saya ini) itu sungguh aneh. Mengapa? Bahasa dan Budaya adalah mengenai Manusia. Jadi, pendekatan yang paling pas adalah pendekatan sosio-kultural, pendekatan ilmu-ilmu tentang manusia, bukan saintifik. Sayangnya, kini guru diminta untuk mendekati cerpen, misalnya, secara saintifik.
Ilmiah dalam ilmu bahasa dan ilmu tentang manusia, pada hemat saya, adalah bagaimana kita mempelajari bahasa dan budaya sebagai Manusia Indonesia seutuhnya. Kita ini punya emosi, rasa, hubungan sosial, dan budaya. Bahasa adalah ekspresinya. Jadi, silakan bayangkan anak-anak kita belajar tentang cerpen dengan pendekatan "saintifik" ini. Sungguh terasa sangat janggal ketika semua diilmiahkan, anak akan kehilangan "rasa".
Berkaca dari Australia