Ribuan regulasi yang membanjir di Indonesia memang menyebabkan saling tumpang tindihnya aturan dan ketidakpastian hukum.
Sesuai data dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), terdapat 10.180 regulasi yang berlaku di Indonesia dengan rincian, 131 undang-undang, 526 peraturan pemerintah, 839 peraturan presiden, dan 8.684 peraturan menteri.
Dengan melihat fakta banjir regulasi tersebut, maka memang masuk akal juga kiranya, kalau Pemerintah dan DPR ingin menyederhanakan jumlah regulasi tersebut.
Sehingga berlatar belakang banjir regulasi tersebut, muncul pendekatan Omnibus Law, yang pada akhirnya juga, pada tanggal 5 Oktober 2020, Omnibus Law telah disahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang.
Namun demikian, apakah penyederhanaan banjir regulasi di segala sektor tersebut harus dan mesti dilakukan melalui pendekatan Omnibus Law?
Padahal penyederhanaan regulasi bisa saja menggunakan pendekatan kodifikasi atau pencabutan, perubahan, ataupun pembatalan undang-undang.
Berkaitan dengan telah disahkannya RUU Omnibus Law menjadi Undang-undang, maka kalau merujuk pada UU 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Ternyata, penyederhanaan regulasi melalui pendekatan Omnibus Law ini mengalami pelanggaran sistematisasi materi pokok, yaitu dengan mengabaikan partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Omnibus Law membelenggu keterbukaan dan partisipasi ruang publik dalam pembentukan undang-undang, padahal prinsip keterbukaan dan partisipasi dalam memproduksi undang-undang adalah roh utama dalam negara demokratis, karena bisa dilihat faktanya, pemerintah dan DPR lebih mendominasi.
Bahkan materi dan waktu pengerjaannya terlalu cepat, kurang komprehensif serta kurang mempertimbangkan dampak turunan dari undang-undang yang dipangkas, termasuk dampak terhadap aturan pelaksanaannya dan implikasinya di lapangan.
Prosesnya pembahasannya hingga disahkan kurang bijak, karena disahkan saat kondisi bangsa Indonesia sedang prihatin dirundung badai bencana pandemi Covid-19.