Di Indonesia, kekuasaan merupakan bentuk stratifikasi sosial didalam masyarakat. Kekuasaan membuat seseorang memiliki hak dan kewenangan untuk berbuat sesuatu, baik kepada individu, keluarga, kelompok masyarakat, negara dan dunia internasional.
Sehingga kekuasaan dapat mendominasi dan menggerakkan dinamika masyarakat. Stratifikasi seseorang dapat berubah ketika menjadi pejabat publik.
Sebagai contoh, seorang Kepala Daerah yang tentunya akan lebih dihormati karena memiliki kekuasaan di bidang pemerintahan. Pengaruh kekuasaannya sangat berdampak terhadap aspek sosial di dalam masyarakat.
Maka dengan sendirinya masyarakat secara otomatis akan menempatkan Kepala Daerah tersebut pada stratifikasi sosial yang lebih tinggi diantara lingkungan sosial mereka.
Inilah yang menyebabkan orang orang akan berlomba-lomba meraih dan berebut untuk memiliki kekuasaan tersebut dengan berbagai cara.
Namun, yang perlu jadi hal mendasar dan catatan adalah dengan seiring sejalan waktu, praktik kekuasaan yang di jalankan dapat berubah seketika menjadi kekuasaan yang tanpa batas. Seperti contohnya saja pada saat rezim Orde Baru berkuasa.
Sehingga atas dasar inilah, perlu seperangkat undang-undang yang mengatur mengenai ruang gerak yang dapat membatasi kekuasaan itu, yaitu Hukum.
Hukum dan kekuasaan sejatinnya akan saling melekat dan jadi satu bagian yang tak terpisahkan agar kekuasaan tidak melampaui hak dan kewenangannya.
Seperti yang tertuang didalam pasal-pasal UUD 1945 di mana hukum juga memberikan kewenangan atributif dan kekuasaan kepada lembaga-lembaga tinggi negara yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Tapi yang menjadi dilematis adalah ketika hukum yang juga merupakan produk politik untuk membatasi kekuasaan tersebut, justru malah berlaku terbalik yaitu hukum jadi ditunggangi kekuasaan dan sebagai kendaraan politik untuk mencapai keuntungan dan kepentingan politik.
Sejatinya bila praktik Hukum dapat sejalan dengan amanah UUD 1945 maka hukum sebagai produk politik, tidak akan membuat kekuasaan melampaui produk-produk hukum.