Dalam setiap perhelatan pesta demokrasi entah mengapa setelah kesemua proses tersebut usai selalu didapati sekian persen yang golput. Suara yang disalurkan sesuai hak politik masing-masing warganegara tidak seutuhnya digunakan, padahal dalam setiap daftar pemilih tetap yang dikeluarkan KPU terpampang jumlah para pemilih.
Di Indonesia sendiri golput adalah merupakan momok yang selalu menjadi kontroversi, sehingga paradigma golput ini bagaikan hantu yang menggelayuti dalam setiap perhelatan Pemilu.
Dari berbagai sumber golput dalam setiap pesta demokrasi semakin meningkat, lihat saja pada tahun 2004 golput mencapai 21,8 % pada putaran pertama, 23,4% pada putaran kedua, tahun 2009 golput meningkat menjadi 28,3%, terakhir ditahun 2014 golput mencapai 29%, lalu bagaimana tahun 2019?
Mengapa ini bisa terjadi?
Kasus golput ini harus menjadi perhatian khusus oleh pemerintah karena bukannya berkurang tapi malah meningkat di setiap pemilu, baik itu pilkada, pileg, dan pilpres.
Asal mula Kata golput adalah singkatan dari golongan putih. Makna inti dari kata golput adalah tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu dengan berbagai faktor dan alasan.
Menurut beberapa pakar politik, seperti Arbi Sanit, golput adalah gerakan protes politik yang didasarkan pada segenap problem kebangsaan, sasaran protes dari dari gerakan golput adalah penyelenggaraan pemilu. Berbeda dengan kelompok pemilih yang tidak menggunakan hak pilih karena berhalangan di luar kontrolnya. Kaum golput menggunakan hak pilih dengan tiga kemungkinan :
Pertama, menusuk lebih dari satu gambar partai.
Kedua , menusuk bagian putih dari kartu suara.
Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih.
Jadi golput adalah mereka yang dengan sengaja dan dengan suatu maksud dan tujuan yang jelas menolak memberikan suara dalam pemilu.