Ciaat ciaat huup,, awas kakang brama,,, tumenggung bayan sangat licik hati hati kakaaaang,,,
Tenang mantili aku sudah siaga,,, hei bayan kau terimalah ajian serat jiwa ku ini,,, huuuuup hiyyyaaaaa,,,
Masihkah anda ingat cuplikan dialog di atas?
Ya, itu adalah cuplikan sandiwara radio Saur Sepuh Satria Madangkara, betapa dulunya serial ini sangat dinanti nanti, kini hiburan yang sangat digandrungi di era 80 s.d. 90-an itu punah dan sulit untuk kembali lagi pada masa kejayaannya.
Sebenarnya sandiwara radio itu adalah Theatre of Mind, hanya dengan visualisasi efek suara dan para pengisi suara, orang orang dapat membentuk sosok dan karakter pemainya dengan imaginya, menggambarkan suasana pertarungan sesuai intuisi, menggambarkan romansa kisah cinta dengan hati, kita seolah olah ikut berada didalam cerita.
Saya ingat betul, dulu saya berkumpul bersama keluarga ataupun teman menunggu acara ini dimulai bahkan sudah stay setengah jam sebelumnya, episode yang berjalan tak ingin beranjak dan ketinggalan cerita, tetap pada posisi mendengar dan menatap radio dengan intuisi masing masing.
Mengapa sandiwara radio bisa punah?
Di sinilah mirisnya, dengan diiringi modernisasi dan perkembangan teknologi, serta munculnya media TV ataupun film dengan audio visual, sehingga sosok tokoh atau suasana bisa ditayangkan secara detail, ditambah lagi dengan bertumbangannya radio-radio siaran semakin membuat sandiwara radio terpuruk. Sejujurnya saya sangat merindukan kembali sandiwara radio bangkit.
Kini Sandiwara radio sudah tinggal kenangan.
Good bye, Mak Lampir, ehehehehehe
the theatre of mind