Lihat ke Halaman Asli

Peradaban dan Kemanusiaan

Diperbarui: 26 Juni 2015   20:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Dia cucuku dan anakmu!” King George menyeru dengan marah bercampur sedih usai menombak mati Neil Fletcher yang akan menembak Nullah, anaknya sendiri.

Itulah adegan yang paling berkesan buat saya di film “Australia” yang saya tonton di penghujung tahun lalu.

Secara umum, film “Australia” tergolong menarik dan layak masuk ke jajaran box office. Namun ramuan Hollywood masih terasa sangat kental di situ: pihak yang baik menang, yang jahat mendapatkan ganjarannya dan cerita berakhir dengan happily ever after. Saat sahabat tercinta saya bertanya tentang inti cerita ini, saya cuma menjawab enteng, “Cerita kalau negara tetangga kita itu sangat rasis”.

Tentu saja, saya sangat menikmati film yang memang cocok buat ditonton berdua itu. Ada romantisme antara Lady Sarah Ashley (Nicole Kidman) dan Drover (Hugh Jackman), diramu dengan latar belakang politik rasialis Australia yang langgeng hingga awal abad ke-21, ditambah ketegangan seputar Perang Dunia II di Pasifik. Tiga hal yang sangat saya gemari masuk di film ini: romantisme (dan erotisme), perlawanan pada penindasan serta Perang Dunia II, yang menurut saya merupakan perang terakhir yang “adil” dan berimbang di dunia ini.

Namun saya lebih terpesona dengan hubungan antara King George, seorang pejuang tua Aborijin, dengan Nullah, sang cucu. Berbeda dengan kakek dan ibunya, Nullah memiliki kulit coklat muda – seperti Indo di negara kita – dan masuk ke kelompok yang kerap diejek dengan sebutan “creamy”.

Berbeda dengan kelompok Indo yang semasa penjajahan relatif berbahagia dengan hak lebih di atas pribumi, kaum creamy justru harus menanggung sengsara karena dipisahkan dari ibunya yang Aborijin dan tidak diakui oleh bapaknya yang kulit putih. Nullah adalah salah satunya. Ibunya yang bekerja di peternakan Faraway Downsbertahun-tahun dimanfaatkan oleh Fletcher untuk memenuhi kebutuhan seksualnya – atau dalam istilah Nullah melakukan “wrong-sided business”. Lahirlah Nullah yang berdarah setengah Aborijin – setengah kulit putih. Namun Fletcher tidak pernah mengakuinya.

Di sisi lain, King George, yang tidak suka dengan tabiat kaum kulit putih, justru sangat menyayangi sang cucu. Dia mengajarkan semua ilmu dan adat istiadat Aborijin kepada Nullah.

Meski tidak menyukai tabiat Fletcher dan tindakannya terhadap putrinya – yang akhirnya tewas terbenam di menara air saat menyembunyikan Nullah dari kejaran polisi – King George tidak pernah berusaha mencelakai Fletcher – ayah cucunya. Namun ketika Fletcher hendak membunuh cucu kesayangannya, dia terpaksa turun tangan.

Saya teringat ibu sahabat saya yang saat itu tengah menjalani proses perceraian dengan sang suami. Dari awal, ibu sahabat saya tidak pernah menyukai menantunya itu. Namun dia tak kuasa untuk melarang anaknya. “Kalau saat itu disuruh memilih, pasti dia memilih suaminya,” ujarnya sedih di depan saya. Akhirnya dia hanya bisa menyaksikan saat sang anak diperlakukan semena-mena selama belasan tahun sebelum melakukan perlawanan dengan mengajukan gugatan cerai.

Rasa cinta orangtua terhadap anak, kakek dan nenek terhadap cucu, atau sebaliknya, konon merupakan bentuk langsung cinta Tuhan terhadap mahluk-Nya. Namun tak jarang rasa cinta semacam itu terdistorsi oleh aturan-aturan dan sekat-sekat sosial di tengah masyarakat.

King George, yang dianggap belum “beradab”, ternyata justru lebih manusiawi ketimbang Fletcher, kaum kulit putih yang “membawa peradaban” ke Australia. “Peradaban” yang justru memisahkan anak-anak dari orangtua yang dicintainya. Tentu saja “peradaban yang dingin” seperti itu bisa dijumpai di mana-mana. Saya jadi teringat Minke yang dipisahkan dengan kejam dari Annelies dalam “Bumi Manusia”.

Selama beberapa bulan ini, saya juga menyaksikan seorang ibu yang dipisahkan dari dua buah hatinya oleh suaminya sendiri. Ini dilakukan oleh seorang perwira menengah militer yang selalu mengaku menjaga kehormatan dan martabat keluarga. Atas nama kehormatan dan martabat itu pula, dia melarang seorang ibu yang susah payah mengandung, melahirkan dan membesarkan anak-anaknya, untuk meraih buah hatinya ke dalam dekapan.

Pun ketika Keputusan Pengadilan Agama menyatakan semua tuduhan sang suami tidak terbukti dan mengabulkan gugatan cerai serta hak asuh di tangan sang istri, sang mantan suami bergeming dan memilih mengajukan banding. Si ibu pun harus bersabar untuk kembali memberikan kehangatan pada kedua buah hatinya. Ini tentu saja bukan kasus yang unik. Terjadi di manapun, termasuk di kalangan selebritas yang terekam oleh tayangan infotainment yang tidak mendidik itu. Entah mengapa, konflik orangtua selalu membuat anak-anak sebagai korban.

Mungkin naif jika saya memandang hubungan cinta platonis antara orangtua dan anak bisa terlepas dari beragam tatanan sosial yang membebani kita setiap saat. Namun King George yang diperankan dengan sangat baik oleh aktor David Gulpilil setidaknya memberikan pelajaran kepada kita bahwa cinta semacam ini dimiliki oleh siapa saja, tanpa tergantung tingkat “peradaban” yang dimilikinya, dan orang-orang yang berusaha merenggutnya justru perlu dipertanyakan keberadabannya.

Kalau saja kita hidup di negeri Hollywood.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline