Lihat ke Halaman Asli

Suhendra

Blogger, Photographer, Freelance, Communication Advisor

Bahana TCW: Pasar Saham Berpotensi Menguat di Semester Dua

Diperbarui: 23 Juli 2019   10:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Jakarta- Pasar saham Indonesia kembali berpeluang menguat di semester dua tahun ini setelah usai dari hiruk pikuk politik dan para pelaku pasar mendapat kepastian Presiden terpilih Joko Widodo kembali memimpin Indonesia untuk kedua kali.

Menurut Kepala Ekonom dan Makro Ekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment, Budi Hikmat, ada beberapa faktor di semester dua yang bisa mendongkrak kenaikan pasar saham.

Pertama, sentimen positif dari Bank Sentral Amerika Federal Reserve (The Fed) yang memberi sinyal kuat untuk menurunkan suku bunga pada akhir Juli ini. Dari segi valuasi, bursa saham Indonesia masih lebih murah dibandingkan bursa saham beberapa negara di Asia, sehingga memikat investor asing untuk kembali berinvestasi di Indonesia.

Di samping itu, Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga BI 7 days reverse repo sebesar 25 basis poin menjadi 5,75 persen pada bulan ini. Sehingga suku bunga deposito cenderung turun, diantisipasi dengan bunga obligasi.

Sementara faktor earnings atau pendapatan perusahaan masih belum memberi hasil maksimal karena daya beli masyarakat belum membaik. Budi memperkirakan earnings korporasi pada tahun ini akan berkisar antara 8-10%.

Adapun, sektor-sektor yang menarik untuk dicermati dengan kondisi membaiknya pasar saham adalah sektor perbankan, konsumen, dan properti. Sementara, sektor yang harus diwaspadai adalah sektor komoditas, baik itu batubara, minyak sawit (CPO) sebagai dampak dari pelambatan ekonomi yang terjadi di Cina.

Penguatan Rupiah Belum Secara Fundamental

Di samping prospek IHSG yang diprediksi menarik tahun ini, Rupiah telah mencerminkan penguatan pada pekan lalu. Rupiah kembali menguat terhadap kurs Dollar Amerika Serikat (AS), yang naik 0,49% ke level Rp 13.930 selama pekan lalu. Adapun, Rupiah menjadi mata uang terbaik di Asia sepanjang Juli, dimana Rupiah menguat 1% terhadap Dollar AS.

Akan tetapi, Budi Hikmat mengingatkan jika penguatan Rupiah belum ditopang secara fundamental. Penguatan Rupiah disebabkan karena masuknya aliran modal asing (capital inflow) ke pasar keuangan Indonesia, sebesar Rp 192,5 triliun, dimana Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp 118,1 triliun dan saham senilai Rp 74 triliun. Adapun, kepemilikan investor asing terhadap SBN telah melebihi Rp 1.000 triliun.

Sementara Indonesia masih mengalami defisit neraca dagang. Sepanjang semester satu 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca dagang Indonesia defisit US$ 1,93 miliar. Adapun, pada bulan Juni, terjadi surplus US$ 200 juta. Meski demikian, defisit neraca dagang semester 1 tahun ini merupakan defisit neraca terdalam selama empat tahun terakhir.

"Tantangan terbesar kita saat ini adalah penyembuhan Defisit Neraca berjalan / Current Account Deficit (CAD). Kebijakan moneter dan fiskal saja tak cukup memperbaiki CAD. Hal yang kita tunggu saat ini adalah kabinet pemerintah yang baru untuk memberi solusi dalam memacu produktivitas dan daya saing", ungkap Budi Hikmat dalam siaran pers, Selasa, 23 Juli.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline