Lihat ke Halaman Asli

Suhendra

Blogger, Photographer, Freelance, Communication Advisor

Sentimen Eksternal Tetap Berpengaruh, Kondisi Ekonomi Indonesia di 2019 Membaik

Diperbarui: 2 Januari 2019   16:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Jakarta- Meskipun kondisi global tetap menantang, para pelaku pasar memprediksi kondisi ekonomi Indonesia di tahun 2019 akan membaik, menghapus berbagai tekanan yang mewarnai tahun 2018.  
 
Hal ini diungkapkan Kepala Makroekonomi dan Direktur Strategi PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat dalam siaran pers, Rabu (02/01).

Menurutnya, situasi ekonomi dan geopolitik global akan lebih mendukung kembalinya arus modal asing masuk ke Indonesia sehingga memperkuat  mempengaruhi kondisi ekonomi Indonesia.

Berbagai sentimen eksternal di antaranya adalah situasi politik di Amerika Serikat setelah kemenangan partai Demokrat dalam pemilihan sela di tahun 2018, yang akan menjadi penyeimbang kebijakan ekonomi Presiden Donald Trump.

Penguatan Dollar AS sepanjang tahun 2018 justru cenderung meningkatkan defisit perdagangan AS terhadap Cina. Di samping itu, tensi perang dagang AS dengan Cina tampaknya lebih melonggar dengan adanya gencatan senjata dan tekanan politik dalam negeri yang dialami Presiden Trump.

"Setelah kekalahan politik presiden Trump, Cina tak perlu tergesa-gesa bernegosiasi. Kompromi tampaknya bisa tercapai karena kedua belah pihak sama-sama saling membutuhkan dari sisi ekonomi," ungkap Budi Hikmat.

Di sisi ekonomi Cina, neraca berjalan raksasa ekonomi Asia terbesar itu diduga akan menoreh angka negatif untuk pertama kali pada tahun 2019. Hal ini berisiko memicu potensi Cina akan melemahkan mata uang Yuan.

Adapun, investor global menduga kondisi perekonomian AS telah melewati puncaknya dan mulai melambat walau tetap terbilang kuat. Sementara, kebijakan bank sentral The Federal Reserve diproyeksi akan tetap memperketat likuiditas meski tak sekencang tahun 2018.

Setelah menaikkan suku bunga sebesar 100 basis poin pada tahun ini, The Fed tampaknya bersikap netral pada tahun depan, mengacu pada tingkat suku bunganya lebih tinggi pada tingkat inflasi AS pada di kisaran 2.2%, tertinggi di antara negara maju. "Ada potensi The Fed hanya membutuhkan maksimal dua kali kenaikan selama 2019," tambah Budi.

Di sisi lain, pasar menduga Bank sentral Eropa (ECB) akan mengikuti The Fed dalam mengakhiri stimulus kuantitatif tahun depan, dan menaikkan suku bunga menjelang akhir tahun. Hal ini didukung dengan adanya indikator penguatan ekonomi kawasan Uni Eropa.

Meskipun tekanan dari eksternal mereda, Budi berharap adanya kebijakan untuk mendorong daya beli dan meningkatkan produktivitas baik dalam sektor manufaktur maupun pariwisata.  
 
"Optimisme kami dilandasi keberanian pemerintah menempuh kebijakan pre-emptive dan prudent untuk membedakan Indonesia dibanding negara berkembang. Namun demikian, untuk mendorong investor melakukan diskriminasi membutuhkan kebijakan mendorong daya beli, reformasi untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas serta mendorong foreign direct investment," ungkap Budi.

Bahana TCW pun memproyeksikan selama tahun 2019, kurs Rupiah bergerak pada kisaran 14.350 sampai 15.200. Secara konservatif, proyeksi tersebut sudah memasukkan kemungkinan dollar kembali menguat sebesar 2% dan rasio cost to income commodity naik 5%.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline