Lihat ke Halaman Asli

Italia, Arsene Wenger dan Ballon d'Or

Diperbarui: 12 Januari 2016   19:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ajang Pemilihan Pemain Terbaik Dunia bertajuk Ballon d’Or 2015 berakhir sudah. Pemenangnya adalah sosok yang sebelumnya sudah diprediksi dan diduga akan memenangkannya, yaitu mega bintang Barcelona, Lionel Messi. Pemilihan ini menyisakan hal-hal ‘spektakuler’ seperti raihan lima kali Ballon d’Or Messi sebagai yang terbanyak dan (barangkali) sulit untuk dikejar apalagi dilewati, dan (perlahan tapi pasti) mulai merangseknya Neymar dalam ‘perebutan julukan’ sebagai yang terbaik di dunia. Mencuatnya nama Wendell Lira – yang bukan pemain top dan berasal dari klub tak terkenal di Liga Brasil – merebut Puskas Award dengan gol cantik (yang menariknya) mengalahkan gol keren Lionel Messi yang juga masuk nominasi adalah kejutan lainnya.

Tapi (lagi-lagi) Ballon d’Or 2015 menyisakan ketidakpuasan dan suara-suara nyinyir sebagaimana setiap ajang ini berakhir seperti sebelum-sebelumnya. Jika tahun lalu dan beberapa tahun sebelumnya ajang ini menyisakan ketidakpuasan oleh banyak pihak yang merasa bahwa ‘kandidat ini’ lebih layak dengan posisi yang lebih baik, atau bahkan (seharusnya) meraih Ballon d’Or-nya ketimbang ‘kandidat itu’, tahun ini bertambah dengan suara ketidaksetujuan atau suara menentang beberapa pihak pada ajang ini.

Suara ketidakpuasan memang masih muncul dari pihak yang menilai atau menganggap bahwa Neymar lebih pantas menjadi runner up ketimbang Cristiano Ronaldo. Tapi yang sekarang lebih banyak mencuat ke ranah publik sepak bola adalah suara-suara yang menganggap bahwa ajang penghargaan (individu) ini mencederai nilai sepak bola itu sendiri sebagai permainan tim. Tidak seharusnya seorang pemain begitu dielu-elukan seakan ia satu-satunya faktor kesuksesan sebuah tim. Karena bagaimana pun kesuksesan sebuah tim sepak bola adalah hasil kerja kolektif 11 orang pemain.

Jika pun ada satu atau dua pemain yang menonjol dan perannya begitu vital untuk menghidupkan permainan dan mengangkat semangat dan moral tim, seharusnya tidak serta menjadi alasan untuk tak menganggap peran pemain lain.

Suara tak mendukung ajang ini disuarakan oleh arsitek Arsenal, Arsene Wenger yang menyatakan bahwa ia tak mendukung penghargaan individu karena sepak bola adalah permainan tim. Suara seperti itu bukan baru-baru ini saja muncul, melainkan sudah sejak lama dicuatkan. Tetapi memang sekarang ini gaungnya agak keras. Alasannya pun beragam. Jika sebelumnya hanya sosok-sosok tertentu saja yang menyuarakan, sekarang ini bisa dibilang mulai ramai.

Apalagi dalam setiap penyelenggaraannya, ajang ini dianggap sarat intrik dan sarat unsur politis. Beberapa nominator (yang akhirnya tak menang) seperti Frank Ribbery pernah terang-terangan mengungkap kekecewaannya lantaran ia merasa mencium aroma politis yang (katanya) kental terasa dalam pemilihan itu.

Hal miris lain yang tersisa dari ajang Ballon d’Or 2015 adalah tentang Italia yang (kabarnya) memboikot pemilihan itu dengan tak memilih. Dan lagi-lagi ini karena faktor ketidakpuasan. Menurut klaim media Italia, Sky, FIGC (PSSI-nya Italia) memerintahkan kepada pelatih dan kapten mereka Antonio Conte dan Gianluigi Buffon untuk tidak memilih dalam ajang itu. (Baca artikel terkait di sini)

Alasannya adalah sebagai bentuk protes karena Buffon tak masuk dalam daftar 49 pemain yang bisa dipilih sebagai pemenang. Padahal tahun lalu, sebagai kapten, Buffon sukses mengantar Juventus meraih Scudetto dan Copa Italia serta membawa Juve ke final Liga Champions di mana seharusnya pantas untuk membuatnya setidaknya masuk daftar 49 kandidat.

Ketidakpuasan dengan berbagai dalih atau suara menentang dengan bermacam argumentasi selalu mewarnai sebuah ajang pemilihan. Karena pemilihan ‘segala sesuatu’ yang terbaik pada dasarnya hanya memilih satu, sedangkan yang ingin menang, dan merasa pantas menang, atau setidaknya pantas dijagokan untuk menang jauh lebih banyak.

Sementara tidak bisa dipungkiri bahwa di balik layar sebuah ajang pemilihan selalu ada intrik yang dilakukan, selalu (dicurigai) ada politisasi di sana. Tak bisa dibantah juga bahwa pihak-pihak yang berwenang, pihak yang memiliki suara dalam ajang pemilihan terkadang main mata dengan pihak-pihak yang berkepentingan ‘untuk menang’.

Mengenai Ballon d’Or – yang merupakan penghargaan yang bersifat individu, yang tak mungkin dipungkiri bahwa siapa pun pemenangnya akan membawa kebanggaan pada klub atau negaranya – mulai banyak ditentang barangkali juga karena setiap tahun ajang ini dipoles dan dipropagandakan sedemikian rupa menjadi tampak glamor dan dijadikan sebagai raihan tertinggi secara individu seorang pemain sepak bola.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline