Lihat ke Halaman Asli

Yogyakarta

Diperbarui: 18 Juni 2015   05:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Yogyakarta, 12 September 2013
Dan inilah kali pertama aku akan bertemu (lagi) dengan Dimitri yang dari semenjak bangku SMA lebih sering dipanggil Tri. Hatiku yang jarang dag dig dug seperti ini bahkan untuk sidang skripsi dan presentasi laporan di kantorku. Kucoba menghela nafas perlahan, membuangnya dan berharap perlahan kegundahan ini hilang. Yogyakarta yang memang panas terasa makin panas padahal aku hanya diam duduk di sebuah restoran khas Yogya dekat hotel tempatku menginap. Dan debaran serta kegundahan sepertinya memuncak tatkala sepasang mata ini melihat ke arah pria berkemeja putih dengan motif garis biru kecil yang seperti nampak kebingungan mencari seseorang…
Ya.. Dimitri Riyanto Gunawan !
Aku mengenalnya pertama kali di bangku SMA, hmm lebih tepatnya aku saja yang ingin mengenalnya. Mungkin dia tidak pernah tahu aku ingin mengenalnya. Tri yang merupakan anak basket yang gaul dan popular, dia tidak terlalu tampan tapi supel dan ramah mau bergaul dengan siapa saja. Dan aku dengan sebutan “anak rajin” dan “kutu buku” dengan seragam yang kebesaran karena ibu tak pernah mengizinkanku mengecilkannya seperti anak – anak lain. Tri yang kulihat mantan pacarnya pun bahkan tak ada yang sepertiku, mereka sama gaulnya seperti Tri. Makanya tak pernah terbesit sedikitpun dalam pikiranku untuk bisa SMS-an atau bahkan mungkin ngobrol langsung. Pada waktu itu pun aku memang ingin fokus pada nilai – nilaiku karena memang itu prioritas utamaku di sekolah.
Hingga akhirnya aku diterima di Fakultas Kimia di sebuah Universitas Negeri di Bandung. Dan Tri di terima di sebuah Universitas Negeri di Yogyakarta Fakultas Ekonomi. Saat kuliah aku tak se-“nerdy” dulu, aku mulai sedikit demi sedikit “up to date’, aku pun sudah lupa dengan Tri, aku berganti beberapa kali pacar. Intinya aku berbeda dengan aku SMA.
Lulus kuliah aku diterima di sebuah perusahaan multinasional di daerah Bekasi. Aku bekerja di lab, aku pun fokus bekerja karena selalu tidak ingin mengecewakan keluarga terutama ibu.
“La, kamu tuh kerja terus, weekend kadang lembur, kapan cari jodohnya ?” tiba – tiba ibu memulai pembicaraan di ruang makan.
“Ibu doain Lala dong biar cepet dapet jodoh juga, kan Lala lembur juga ngumpulin nanti buat nikah Bu” jawabku.
“Ibu gak usah diminta juga pasti doain kamu La, kamunya juga usaha La. Kamu kan udah 25 tahun, usia yang tepat buat menikah La”
Apa yang ibu katakan memang benar, hmm… 25 tahun, usia yang sudah cukup matang bahkan untuk punya anak pun sudah pas. Ah sudahlah nanti juga jodoh pasti bertemu, kata Afgan juga gitu.
Sampai ketika sedang galau galaunya masalah jodoh tetiba tayangan di televisi,
“Roti gudeg siap menemani sarapan, makan siang dan sore santaimu. Praktis, hemat, nikmat ! Yuk datang ke kedainya, Kedai Roti Gudeg di Kaliurang KM 5, Yogyakarta !”
Mataku seperti sulit berkedip, bukan pada Roti Gudeg atau produk yang diceritakan tapi pada pria dengan kemeja batik rapih, pemilik usaha tersebut. Aku menghela nafas, dia….. apa kabarnya ?
Tak pikir panjang malamnya aku melakukan yang sering ABG sekarang lakukan, ya “stalking”. Aku stalking semua media sosial. Hmm ternyata memang benar, sekarang dia punya usaha sendiri, dia menetap di Yogyakarta. Pikiranku tiba – tiba melayang di masa SMA. Masa – masa aku hanya bisa melihatnya dari balik jaring – jaring besi lapangan basket. “Kata ibu selain berdoa, jodoh juga harus diusahakan, dicari.. apa mungkin yah aku usaha buat…hmm ah sudahlah”.
Di kantor, di jalan, pikiranku bagai melayang terus ke jaman SMA eh lebih tepatnya ke seorang pria, iya Dimitri. Akhirnya aku pun bercerita pada sahabatku, Risa. “Yaelah Lala elo tuh gimana sih yang kaya gini aja dibikin sulit. Elo kan bisa tuh tiba – tiba pesen Roti Gudeg via online terus elo pdkt deh sama yang punyanya itu”…
Iya juga sih, aku jadi terpikir apa yang diusulkan Risa. Hmm akhirnya aku mencoba pesan online produk Roti Gudeg dan surprisingly aku langsung BBM dengan ownernya, ya dengan Tri…
“Mas Tri dulu sekolah di Bandung yah di SMA Taruna Bakti ?”
“Iya, kok mbak tahu ? Mbak disana juga ? Mbak pernah lihat saya ?”
Akhirnya BBM pun berlanjut dan…. terus berlanjut. Kami banyak sharing, berbagi pengalaman, berbagi cerita masa lalu.
“Oh.. kamu Lala yang Juara Umum itu ? Yang waktu upacara bendera ke depan lapangan dapet penghargaan terus langsung dibawa ke UKS soalnya langsung sakit ?”
Ternyata Dimitri sedkit juga mengingatku hehe selalu terselip senyum kecil ketika BBM-an atau bahkan ketika Tri tiba – tiba menelponku karena ingin mengobrol denganku. Bahagianya diriku, Dimitri yang bahkan dulu saja aku pikir tak mungkin aku mengobrol dengannya, sekarang bahkan dia menelponku. Banyak perubahan dari Dimitri, dulu yang aku tahu dia jarang bergaul di masjid sekarang bahkan dia lebih religius. Makin menambah kekagumanku padanya.
“La, minggu depan kita dinas di Yogya satu minggu !” Tiba – tiba Risa duduk depan meja kerjaku.
“Hah ? Ini beneran Sa ?” tanyaku.
“Iya beneran, dan gue tahu elo seneng banget dong bisa ketemuan dong sama aa Tri” jawab Risa menggoda.
Akhirnya memang benar apa yang Risa katakan begitu tepat aku dan Tri akan bertemu di Yogyakarta minggu depan. Tri seperti sudah tak sabar dan banyak plan karena akan bertemu denganku di kota yang sekarang dia tempati.
“Nanti aku ajak kamu ke Kedai Roti Gudegku yah.. oia disini ada makanan khas Bandung juga loh, oh kamu harus coba jalan – jalan malam juga soalnya rame dan banyak kuliner enak”
Hatiku makin berbunga – bunga dan tak sabar dalam penantian minggu depan untuk bertemu dengan Dimitri.
Akhirnya hari itu pun tiba, aku sampai Yogya Sabtu malam dan besok Minggu pagi kami berencana bertemu di restoran samping hotelku menginap. Malam harinya malah sulit tidur karena… uhhh you know what I mean.
“Tidur kali La, ah elo nervous gitu besok mau ketemu..”
“Iya, Sa.. nervous banget gue…”
Pagi pun tiba dan pagi buta aku sudah begitu siap, aku berjalan menuju restoran dan saat duduk pun kegugupan ini belum hilang.
Dan inilah kali pertama aku akan bertemu (lagi) dengan Dimitri yang dari semenjak bangku SMA lebih sering dipanggil Tri. Hatiku yang jarang dag dig dug seperti ini bahkan untuk sidang skripsi dan presentasi laporan di kantorku. Kucoba menghela nafas perlahan, membuangnya dan berharap perlahan kegundahan ini hilang. Yogyakarta yang memang panas terasa makin panas padahal aku hanya diam duduk di sebuah restoran khas Yogya dekat hotel tempatku menginap. Dan debaran serta kegundahan sepertinya memuncak tatkala sepasang mata ini melihat ke arah pria berkemeja putih dengan motif garis biru kecil yang seperti nampak kebingungan mencari seseorang…
Lalu dia mendekati bangkuku dan melempar senyum yang begitu… iya senyum termanis yang pernah aku lihat.
“Lala ? Hai..” sapanya dengan senyuman yang sama yang pernah aku lihat di jaring – jaring besi lapangan basket sewaktu SMA, manis.
“Tri… hai !” jawabku dengan mata berbinar dan tak bisa menyembunyikan kebahagiaan dan kegugupan ini.
Dan semuanya tidak hanya berlanjut dengan sapaan, it was like a perfect Sunday. I dont care if Yogya is a hot city, my heart always cool beside him.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline