Lihat ke Halaman Asli

Wanita Penunggu Pagi

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Piring berisi empat potong ketela rebus itu masih utuh. Juga teh tubruk tanpa gula yang sudah dingin. Semua masih di tempatnya semula. Di atas meja kayu bundar peninggalan ibundanya dulu. Iyah masih juga duduk di kursi kayu yang sama menunggu pagi.

Entah sudah berapa bulan Iyah melakukan rutinitas itu. Menunggu pagi tiba. Duduk di kursi kayu sambil menopang dagu. Kantuk selalu menyerang, tapi mata takkan pernah terpejam. Iyah masih setia duduk di kursi kayu itu sampe matahari meninggi. Dia akan membereskan semuanya ketika siang sudah menjelang. Setiap pagi dia melakukannya. Menyambut kedatangan Eman, suaminya dari berjaga malam. Sepiring ketela pohon rebus dan teh tubruk tawar selalu dihidangkannya menyambut kedatangan suaminya setiap pagi.


Pukul tujuh pagi tepat, Eman akan datang. Membawa senyuman hangat dan kecupan di kening. Iyah hapal betul, suaminya akan selalu tersenyum meski berjaga semalaman akan membuatnya diserang kantuk dan lelah. Eman tak akan tidur sejenakpun kalau berjaga. Matanya akan tetap terjaga dan awas mengamati sekeliling pabrik tebu peninggalan kolonial Belanda ini. Setelah mengobrol sejenak dengan Iyah sambil menyeruput teh tawar dan beberapa potong singkong, Eman akan mandi dan sarapan pagi. Kemudian dia tidur sampai matahari beranjak ke barat.

Eman hanyalah pegawai kecil. Tugasnya berpatroli di lingkungan pabrik bersama rekannya sesama penjaga. Namun itu tak menghalanginya untuk terus berdedikasi. Sudah dua puluh tahun dia menjadi penjaga malam. Berangkat jam enam sore, pulang jam setengah tujuh pagi. Dia akan pulang ke rumah jam tujuh pagi tepat dengan mengendarai sepeda kumbang warisan orang tuanya.

***


Malam itu, Eman berjaga bersama Dadang, pemuda 23 tahun tamatan SMA desa tetangga sementara rekan-rekannya sesama penjaga ada di pos lain. Jam 8 malam, Eman melihat sekelompok massa berjumlah seratusan orang mendatangi pabrik sambil mengacung-acungkan parang. Eman dan beberapa petugas jaga siaga. Mereka berdiri gagah di depan pintu gerbang pabrik menghadang massa.

“Kembalikan tanah kami. Pabrik tebu bikin kita miskin!”

“Mereka merampas hak-hak kami, membuat kami jadi penonton di desa kami sendiri. Kembalikan tanah kami!” teriak massa berapi-api.

Mereka, masyarakat desa di sekitar pabrik tebu itu, merupakan petani pemilik lahan. Lahan mereka hanya beberapa petak yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup anak dan istri. Beberapa tahun lalu, pabrik tebu ini memaksa mereka untuk menyewakan lahan mereka untuk ditanami tebu. Alhasil, mereka hanya menerima uang sewa tahunan yang hanya cukup untuk hidup beberapa bulan. Kehidupan mereka semakin mengenaskan karena tanahlah sandaran hidup mereka. Banyak dari mereka yang menentang perpanjangan sewa diintimidasi oleh mandor-mandor pengawasan perkebunan tebu. Mereka tak berdaya, namun menyimpan bara.

Dan puncaknya adalah malam ini.

Massa yang mendesak pemilik pabrik untuk keluar, semakin beringas karena direksi tak kunjung keluar. Eman dan rekan-rekannya tetap berdiri di depan gerbang. Menjadi pagar hidup agar massa tak masuk ke dalam pabrik. Entah kapan mulainya, tiba-tiba massa semakin merangsek ke dalam. Memaksa Eman dan teman-temannya menjadi pagar betis sekuat tenaga. Tapi apa daya, mereka yang hanya bersepuluh kalah kuat dengan massa yang jumlahnya seratusan. Malangnya, Eman yang berada di tengah barisan terjatuh menghadapi terjangan massa. Dia terinjak-injak. Massa kemudian masuk ke dalam pabrik, merusak propertinya dan mengamuk sejadi-jadinya.

Eman, masih terbujur di depan pintu pabrik. Teman-temannya sudah lari tunggang langgang. Ulu hati dan dadanya sesak. Kaki banyak mengeluarkan darah. Entah siapa yang kemudian membawanya keluar dari tempat itu. Dia tak ingat.

Ketika sadar, dia sudah di suatu tempat yang pengap. Seluruh badannya sakit dan tak bisa digerakkan. Seorang laki-laki tinggi tegap dengan wajah tertutup topeng mendekatinya.

“Apa yang terjadi semalam?” tanyanya menyelidik. Eman bungkam. Dia masih belum benar-benar sadar.

“Apa yang terjadi semalam?” teriak orang bertopeng itu lebih keras. Eman masih bungkam. dia tak bisa menjawab sepatah katapun karena tenggorokannya kering dan sakit luar biasa.

“Prak!” tamparan keras mengenai pipinya. Semakin sakitlah ia. Dan laki-laki bertopeng itupun pergi.

***

Pagi yang dingin. Iyah gelisah menunggu kedatangan suaminya. Tak biasa Eman datang telat. Dan yang membuat dia semakin cemas adalah cerita penggerudukan pabrik tadi malam. Dan paginya, teman jaga Eman mendatanginya dan mengabarkan kalau Eman terluka. Sayangnya dia tak tahu Eman dibawa oleh siapa dan kemana.

Pagi itu kelam, dan menjadi hari termuram dalam hidupnya. Suaminya tak datang....

Sementara itu di hutan samping pabrik.

Eman masih setengah sadar. Laki-laki bertopeng itu datang lagi, dan tak lama kemudian terdengar bunyi “door” tiga kali. Kali ini membuat Eman tak sadar untuk selamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline